Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cersil | Dalam Peluk Maut [Bagian 5]

2 Oktober 2018   23:25 Diperbarui: 26 Desember 2020   05:25 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:www.jaynestars.com

Kisah sebelumnya: Mengetahui Kitab Kalamenjara raib, Nini Surkanti memerintah Sri Kantil untuk segera mencarinya. Dan gadis itu langsung berpikir bahwa pemuda gondrong yang aneh itulah yang telah mencuri kitab bertuah tersebut. Perkelahian sengit antara keduanya pun tak terelakkan.

-------

Sri Kantil terjengah. Ia merasakan aliran darahnya menghangat dan degup jantung berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Sesaat pandangannya bersirobok dengan mata pemuda gondrong yang masih erat menangkup pinggangnya itu.

Tak ingin terjebak terlalu jauh dalam perasaan aneh, Sri Kantil berusaha uwal. Lepas dari pelukan. Tapi itu bukan hal yang mudah. Sebab ternyata pemuda gondrong itu semakin mempererat pelukannya.

Maka tak pelak lagi. Terjadilah pergumulan sengit. Saling tarik ulur. Serupa tarian. Sri Kantil dengan gerakan meliuk-liuk mencari celah agar bisa melepaskan diri. Sementara pemuda gondrong itu mengikuti setiap gerakan Sri Kantil dengan gerakan tandingan yang amat manis.

Tak jauh dari tempat pergumulan aneh itu, dua pasang mata tampak serius mengawasi.

Nini Surkanti. Di sampingnya berdiri Ki Brojosamusti.

"Mereka tidak sadar telah menciptakan ilmu itu, Ni. Jurus Tarian Maut! Itu bagus sekali! Jika dipadukan maka keduanya akan menjadi pasangan pendekar yang luar biasa. Serasi dan tak terkalahkan!" Ki Brojosamusti berseru takjub.

Nini Surkanti tidak menyahut. Matanya sibuk memperhatikan gerakan demi gerakan yang dilakukan oleh Sri Kantil dan sang pemuda.

Pada keseratus hitungan, liukan serupa tarian itu terhenti. Tubuh Sri Kantil mendadak terpental jauh. Sebuah hantaman keras telah mengenai dadanya.

"Apa yang kau lakukan, Ni?!" Ki Brojosamusti menatap Nini Surkanti yang sudah berdiri sigeg memasang kuda-kuda.

"Kau diamlah, bandot tua! Ini bukan urusanmu!" Nini Surkanti menyahut ketus tanpa menoleh ke arah Ki Brojosamusti. Pandangan perempuan tua itu masih terus mengarah kepada pemuda gondrong yang kini ikut jatuh terjengkang.

"Aku mulai bisa menebak. Siapa kau ini sebenarnya anak muda!" dengan sekali hentakan tubuh Nini Surkanti melesat, menghampiri pemuda yang berusaha bangkit dari jatuhnya. Seraya menyeka darah yang keluar dari hidungnya, pemuda itu menatap tajam ke arah Nini Surkanti.

"Kau telah melukai Sri Kantil dengan tenaga dalammu, Ni! Itu sangat berbahaya!" pemuda itu berseru penuh amarah.

"Tutup mulutmu, murid Kebodarueng! Pukulan itu lebih baik dari ajian Pelukan Maut yang baru saja kau manjing-kan!" Nini Surkanti membalas seruan disertai satu pukulan mematikan yang mengarah tepat pada lambung pemuda itu.

Tak ingin dirinya menjadi bulan-bulanan amukan Nini Surkanti, pemuda itu segera mengeluarkan aji pamungkas. Sebuah pukulan dasyat tepat menjurus ke arah dada Nini Surkanti. Perempuan tua itu terhuyung sesaat. Lalu ambruk di atas tanah.

Darah kental meleleh dari mulutnya.

"Ni!" Sri Kantil berhambur ke arah Nini Surkanti. Dipeluknya perempuan tua itu erat-erat. Matanya yang tajam menatap geram ke arah pemuda gondrong yang berdiri terhuyung.

"Kau tidak sepatutnya menyerang Nini Surkanti!" Sri Kantil berteriak marah.

"Sri, pemuda itu hanya mempertahankan diri. Kau tahu? Pukulan tenaga dalam Nini Surkanti yang diarahkan padanya jika dibiarkan bisa menghancur leburkan tubuh pemuda itu..." suara Ki Brojosamusti mengagetkan Sri Kantil. Gadis itu tidak menduga Ki Brojosamusti muncul di hadapannya. 

"Jangan dengarkan kata-kata bandot tua itu, Sri! Kau harus segera pergi! Tinggalkan tempat ini! Pemuda itu adalah murid Kebodarueng! Dia akan membunuhmu!" Nini Surkanti mengingatkan. Suaranya serak dan bergetar.

Sri Kantil kebingungan. Ia tahu Nini Surkanti memberi peringatan demi keselamatan dirinya. Tapi jika ia pergi dari tempat itu, bagaimana bisa menyelamatkan Nini Surkanti yang keadaannya terluka parah?

"Ni! Aku tidak mau pergi!" Sri Kantil akhirnya mengambil keputusan.

"Gadis bodoh! Pergilah! Jangan hiraukan aku!" Nini Surkanti berusaha bangun. Tangannya terangkat sedikit. Tapi terlambat. Satu hantaman keras kembali mampir di dadanya.

Pemuda gondrong itu rupanya sudah bisa menguasai diri. Dan siap melancarkan serangan kembali.

Melihat gelagat yang kurang baik, Ki Brojosamusti segera mengambil tindakan. Lelaki tua itu maju beberapa langkah. Memasang kuda-kuda sedemikian rupa. Lalu siap melancarkan satu jurus.

Ketika sebuah hantaman kembali hendak menyerang Nini Surkanti, Ki Brojosamusti merangsek maju dengan kecepatan tak tertangkap oleh indra mata. Sekali hentak ia menyengkiwing tubuh pemuda gondrong itu.

"Berhentilah menyamar sebagai murid Kebodarueng, Diman! Kau tidak bisa mengelabuhi mata tuaku!"

Secara beruntun Ki Brojosamusti mengirimkan pukulan ke arah pemuda yang tidak lain adalah Pendekar Caping Maut itu. Gempuran pukulan Ki Brojosamusti membuat pendekar itu jatuh terjerembab mencium tanah.

Sementara dua perempuan berbeda usia yang masih duduk berselonjor di atas tanah saling berpandangan.

"Jadi dia bukan pemuda aneh yang membututiku itu, ya, Ni?" Sri Kantil menatap mata Nini Surkanti yang meredup.

"Kukira penglihatanku mulai rabun, Sri..." Nini Surkanti mengeluh pelan. Sri Kantil menyentuh pundak Nini Surkanti.

"Apa sebaiknya kita pulang ke pondok saja, Ni? Biarkan Ki Bandot---eh, Ki Brojosamusti yang menghadapi murid bengalnya itu," Sri Kantil berkata iba. Nini Surkanti menggeleng.

"Kau belum menemukan kembali Kitab Kalamenjara itu, Sri. Jadi jangan harap kau boleh kembali pulang ke pondok. Kau harus mencarinya sampai ketemu!"

Bersambung ke bag 6 Akhir Perburuan Kitab Kalamenjara (Tamat)

***

Malang, 02 Oktober 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun