"Kau diamlah, bandot tua! Ini bukan urusanmu!" Nini Surkanti menyahut ketus tanpa menoleh ke arah Ki Brojosamusti. Pandangan perempuan tua itu masih terus mengarah kepada pemuda gondrong yang kini ikut jatuh terjengkang.
"Aku mulai bisa menebak. Siapa kau ini sebenarnya anak muda!" dengan sekali hentakan tubuh Nini Surkanti melesat, menghampiri pemuda yang berusaha bangkit dari jatuhnya. Seraya menyeka darah yang keluar dari hidungnya, pemuda itu menatap tajam ke arah Nini Surkanti.
"Kau telah melukai Sri Kantil dengan tenaga dalammu, Ni! Itu sangat berbahaya!" pemuda itu berseru penuh amarah.
"Tutup mulutmu, murid Kebodarueng! Pukulan itu lebih baik dari ajian Pelukan Maut yang baru saja kau manjing-kan!" Nini Surkanti membalas seruan disertai satu pukulan mematikan yang mengarah tepat pada lambung pemuda itu.
Tak ingin dirinya menjadi bulan-bulanan amukan Nini Surkanti, pemuda itu segera mengeluarkan aji pamungkas. Sebuah pukulan dasyat tepat menjurus ke arah dada Nini Surkanti. Perempuan tua itu terhuyung sesaat. Lalu ambruk di atas tanah.
Darah kental meleleh dari mulutnya.
"Ni!" Sri Kantil berhambur ke arah Nini Surkanti. Dipeluknya perempuan tua itu erat-erat. Matanya yang tajam menatap geram ke arah pemuda gondrong yang berdiri terhuyung.
"Kau tidak sepatutnya menyerang Nini Surkanti!" Sri Kantil berteriak marah.
"Sri, pemuda itu hanya mempertahankan diri. Kau tahu? Pukulan tenaga dalam Nini Surkanti yang diarahkan padanya jika dibiarkan bisa menghancur leburkan tubuh pemuda itu..." suara Ki Brojosamusti mengagetkan Sri Kantil. Gadis itu tidak menduga Ki Brojosamusti muncul di hadapannya.Â
"Jangan dengarkan kata-kata bandot tua itu, Sri! Kau harus segera pergi! Tinggalkan tempat ini! Pemuda itu adalah murid Kebodarueng! Dia akan membunuhmu!" Nini Surkanti mengingatkan. Suaranya serak dan bergetar.
Sri Kantil kebingungan. Ia tahu Nini Surkanti memberi peringatan demi keselamatan dirinya. Tapi jika ia pergi dari tempat itu, bagaimana bisa menyelamatkan Nini Surkanti yang keadaannya terluka parah?