"Ni! Aku tidak mau pergi!" Sri Kantil akhirnya mengambil keputusan.
"Gadis bodoh! Pergilah! Jangan hiraukan aku!" Nini Surkanti berusaha bangun. Tangannya terangkat sedikit. Tapi terlambat. Satu hantaman keras kembali mampir di dadanya.
Pemuda gondrong itu rupanya sudah bisa menguasai diri. Dan siap melancarkan serangan kembali.
Melihat gelagat yang kurang baik, Ki Brojosamusti segera mengambil tindakan. Lelaki tua itu maju beberapa langkah. Memasang kuda-kuda sedemikian rupa. Lalu siap melancarkan satu jurus.
Ketika sebuah hantaman kembali hendak menyerang Nini Surkanti, Ki Brojosamusti merangsek maju dengan kecepatan tak tertangkap oleh indra mata. Sekali hentak ia menyengkiwing tubuh pemuda gondrong itu.
"Berhentilah menyamar sebagai murid Kebodarueng, Diman! Kau tidak bisa mengelabuhi mata tuaku!"
Secara beruntun Ki Brojosamusti mengirimkan pukulan ke arah pemuda yang tidak lain adalah Pendekar Caping Maut itu. Gempuran pukulan Ki Brojosamusti membuat pendekar itu jatuh terjerembab mencium tanah.
Sementara dua perempuan berbeda usia yang masih duduk berselonjor di atas tanah saling berpandangan.
"Jadi dia bukan pemuda aneh yang membututiku itu, ya, Ni?" Sri Kantil menatap mata Nini Surkanti yang meredup.
"Kukira penglihatanku mulai rabun, Sri..." Nini Surkanti mengeluh pelan. Sri Kantil menyentuh pundak Nini Surkanti.
"Apa sebaiknya kita pulang ke pondok saja, Ni? Biarkan Ki Bandot---eh, Ki Brojosamusti yang menghadapi murid bengalnya itu," Sri Kantil berkata iba. Nini Surkanti menggeleng.