Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jendela Itu Tak Pernah Tertutup Lagi

1 Oktober 2018   08:03 Diperbarui: 1 Oktober 2018   08:11 1347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katanya, dia pergi hanya sebentar saja. Sebelum senja dia berjanji akan pulang. Aku memegang janjinya itu.

"Jangan tutup jendelanya sebelum aku pulang, ya," dia berpesan. Tentu saja aku mengiyakan.

Setelahnya, aku setia menunggu. Satu jam, dua jam. Sampai senja menghilang tapi dia belum juga pulang. Tentu saja aku harus tetap menunggu dan berprasangka baik terhadapnya. Bisa saja dia terlambat pulang karena mobilnya terjebak macet. Sebab ini malam Minggu. Adalah hal biasa bagi orang-orang yang rindu rumah harus menakar sabar di jalanan.

Jendela kamar yang terbuka mulai berderak-derak tertiup angin. Udara dingin merambah masuk ke dalam rumah. Tapi aku harus memegang janjiku untuk tidak menutup jendela sebelum dia pulang.

"Aku akan membawakanmu bakpao. Rasa kacang hijau, kan?" suaranya sebelum pergi--tadi, kembali terngiang. Tentu saja aku mengangguk. Mengiyakan.

Jendela kamar kian berderak-derak. Daunnya berteriak minta segera dikatupkan.

Tapi lagi-lagi aku teringat pesan dia. Dan aku yakin, sebentar lagi dia pasti akan pulang. Membawakanku bakpao rasa kacang hijau.

Ini sudah pukul sembilan malam. Di jam-jam seperti ini biasanya aku sudah tidur. Meringkuk di dalam selimut, mendengarkan dia bercerita panjang lebar, tentang apa saja. Dia paling suka bercerita tentang hutan. Ya, hutan.  Di mana dia menghabiskan nyaris separuh usianya di sana.

"Hutan adalah rumah keduaku. Aku menggantungkan hidup dan matiku padanya," dia mulai berkisah. Meski tidak kulihat wajahnya secara langsung--sebab aku lebih suka menyusupkan kepalaku di dadanya yang bidang, aku bisa merasakan keceriaan dan binar matanya saat dia bercerita.

"Suatu hari aku ingin mengajakmu berkeliling hutan. Melihat anak harimau yang baru saja dilahirkan. Ia sangat lucu. Seperti anak-anak kucing peliharaanmu itu," dia melanjutkan. Aku tidak menyahut. Hanya semakin menempelkan kepalaku. Tanda aku merespon baik keinginannya.

"Saat berada di hutan, aku merasa seperti Tarzan. Hidupku bebas. Segala keruwetan seolah tuntas. Melihat hijau pepohonan dan jernih air sungai, apa yang lebih menyenangkan dari semua itu? Kota sudah sangat beringas. Kita diburu waktu setiap saat seperti maling dikejar polisi," dia merentangkan satu tangan. Lalu kembali menekuk tangannya itu. Mengelus lembut ubun-ubunku.

"Kau sekarang tidurlah. Aku akan membangun hutan paling indah dalam mimpimu..."

***

Ini sudah jam dua belas lebih lima menit. Harusnya dia sudah pulang dan aku sudah bermimpi berada di hutan sebagai kekasih Tarzan.

Jendela kamarku tidak lagi berteriak. Melainkan menjerit-jerit. Seperti anak kucing yang tak henti mengeong mencari induknya karena merasa kehausan.

Aku hampir saja jatuh kasihan. Pada jendela itu. Tentu jendela itu sudah lelah karena berjam-jam berderit tanpa kuhiraukan. Tapi aku lebih menghargai pesan dia. Untuk tidak menutup jendela sebelum dia pulang.

Ini sudah satu bulan aku membiarkan jendela itu tetap terbuka. Aku masih sabar menunggu kepulangannya. Berharap dia tiba-tiba muncul dengan sekantung bakpao rasa kacang hijau yang aku suka.

"Kau bisa masuk angin jika terus menerus berdiri di dekat jendela itu. Apalagi kau tidak pernah menutupnya," entah itu suara siapa. Aku tidak tahu. Yang kutahu orang itu berseragam putih-putih. Rajin mengunjungiku, pagi, siang dan malam. Memperlakukan aku seperti seorang putri. Makan disuapi, mandi dibantu, dan sebelum tidur aku dipaksa untuk minum obat. Katanya supaya tidurku nyenyak dan bisa bermimpi bertemu dia bersama hutan buatannya.

Di malam ketiga puluh satu. Jendela yang tidak pernah kututup itu memanggilku dengan suara riang.

"Lihatlah kemari!"

Aku bergegas turun dari pembaringan. Berjalan sempoyongan menuju tepi jendela.

Di luar sana, di dalam kabut malam yang pekat, aku melihat dia. 

Dia berdiri memunggungiku. Tangannya yang kekar sibuk membangun belantara di tengah kota. Dia menanami setiap kepala orang-orang yang dijumpainya di jalanan. Dengan pepohonan.

***

Malang, 01 Oktober 2018

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun