"Kau sekarang tidurlah. Aku akan membangun hutan paling indah dalam mimpimu..."
***
Ini sudah jam dua belas lebih lima menit. Harusnya dia sudah pulang dan aku sudah bermimpi berada di hutan sebagai kekasih Tarzan.
Jendela kamarku tidak lagi berteriak. Melainkan menjerit-jerit. Seperti anak kucing yang tak henti mengeong mencari induknya karena merasa kehausan.
Aku hampir saja jatuh kasihan. Pada jendela itu. Tentu jendela itu sudah lelah karena berjam-jam berderit tanpa kuhiraukan. Tapi aku lebih menghargai pesan dia. Untuk tidak menutup jendela sebelum dia pulang.
Ini sudah satu bulan aku membiarkan jendela itu tetap terbuka. Aku masih sabar menunggu kepulangannya. Berharap dia tiba-tiba muncul dengan sekantung bakpao rasa kacang hijau yang aku suka.
"Kau bisa masuk angin jika terus menerus berdiri di dekat jendela itu. Apalagi kau tidak pernah menutupnya," entah itu suara siapa. Aku tidak tahu. Yang kutahu orang itu berseragam putih-putih. Rajin mengunjungiku, pagi, siang dan malam. Memperlakukan aku seperti seorang putri. Makan disuapi, mandi dibantu, dan sebelum tidur aku dipaksa untuk minum obat. Katanya supaya tidurku nyenyak dan bisa bermimpi bertemu dia bersama hutan buatannya.
Di malam ketiga puluh satu. Jendela yang tidak pernah kututup itu memanggilku dengan suara riang.
"Lihatlah kemari!"
Aku bergegas turun dari pembaringan. Berjalan sempoyongan menuju tepi jendela.
Di luar sana, di dalam kabut malam yang pekat, aku melihat dia.Â