Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cersil | [Bag.1] Pendekar Caping Maut

26 September 2018   22:08 Diperbarui: 26 Desember 2020   04:50 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:www.idntimes.com

Perempuan cantik itu merangsek maju. Beberapa depa sebelum bertubrukan dengan pria bercaping, seseorang menarik lengannya hingga tubuhnya yang ramping melenting ke udara. Bersamaan itu gumpalan kabut pekat menguar di sekitar arena pertarungan.

Pendekar Caping Maut sontak melontarkan sumpah serapah. Ia sama sekali tidak menduga bahwa buruannya akan lolos lagi.

"Aku pasti akan menemukanmu Sri Kantil...!!!" suaranya yang serak menggema bagai lolong srigala. Merontokkan daun-daun cemara di tepi hutan lereng Gunung Bromo yang sunyi senyap.

"Jadi kau kehilangan jejak dia lagi, Pendekar Cacing?" Nini Surkanti tertawa terkekeh.

"Diam kau, Nini peot! Ini bukan urusanmu!" pria itu melepas capingnya. Lalu dengan sekali gerakan ia melempar benda terbuat dari anyaman bambu itu selayak memainkan senjata bumerang.

Tawa Nini Surkanti seketika terhenti. Tahu-tahu tubuhnya yang renta ambruk  mencium tanah. Kepalanya terpenggal. Menggelinding, terlepas dari lehernya.

***

Sri Kantil menyeka darah yang membasahi pelipis dan bawah hidungnya. Pipinya tampak membiru. Lebam di sana-sini.

"Kenapa kau tidak membiarkan aku mati? Untuk apa kau menolongku?" dengan napas terengah ia menatap sinis ke arah pemuda yang berdiri tidak jauh darinya.

"Sudahlah Sri. Jangan bicara soal kematian. Basuh dulu wajah cantikmu di sana. Itu ada sungai yang airnya cukup jernih. Kau bisa sekalian membersihkan tubuhmu yang tampak dekil itu," sosok yang diajak bicara itu tersenyum. Sri Kantil menendang sebuah kerikil. Kerikil itu melayang dan berputar-putar mendesing di udara. Lalu bergerak lurus menuju ke arah pemuda yang asyik bersandar pada sebatang pohon itu.

"Busyet! Galak sekali, kau Sri! Tapi aku suka!" pemuda itu tertawa renyah. Sri Kantil tampak semakin jengah. Kali ini bukan lagi kerikil yang ditendangnya. Melainkan sebatang pohon yang tumbang. Tendangan yang disertai tenaga dalam membuat batang pohon itu melayang dengan kecepatan luar biasa. Dan lagi-lagi mengarah menuju pemuda itu. 

Kalau saja pemuda itu tidak memiringkan tubuhnya sedikit ke arah samping, maka habislah ia.

"Baiklah, Sri! Aku akan menyingkir dulu! Tapi nanti aku pasti kembali!" pemuda itu melesat bagai angin. Sri Kantil tertegun sejenak. Ilmu meringankan tubuh yang dikuasai pemuda itu sungguh sangat tinggi. Bahkan Sri Kantil nyaris tidak mampu merasakan kelebatannya.

Sri Kantil berjalan tertatih menuju sungai kecil yang mengalir di hadapannya. Ia merendam kedua kakinya berlama-lama di sana. Sesekali ia berkaca di atas permukaan air. Mengintip wajahnya yang babak belur.

Sembari menahan perih ia membasuh luka-lukanya dengan hati-hati. Lalu mengeringkannya dengan kain yang mengikat kepalanya.

Brukkk!!!

Sebuah bungkusan jatuh tepat di atas batu besar di pinggir sungai. Sri Kantil yakin itu pasti perbuatan pemuda tengil itu. Meski agak jengkel Sri Kantil tidak mengabaikannya. Ia meraih bungkusan itu.

Seperangkat pakaian bersih.

Setengah tersenyum Sri Kantil menyapu pandangan ke sekeliling. Tidak terlihat siapa pun. Pemuda itu rupanya sudah menghilang entah ke mana.

Maka tanpa ragu Sri Kantil memutuskan untuk membersihkan diri. Mandi.

***

Sementara dari jauh, pemuda itu mengawasi Sri Kantil dari atas pohon yang cukup tinggi. Meski beberapa kali ia terpaksa memalingkan wajah. Terutama ketika Sri Kantil melepas seluruh pakaiannya dan menghanyutkan diri mengikuti aliran sungai.

Pemuda itu baru meluncur turun dari atas pohon saat dilihatnya Sri Kantil sudah mengenakan pakaian bersih yang tadi dilemparkannya.

"Kau pasti lapar, Sri!" pemuda itu berteriak lantang. Sri Kantil tidak menyahut. Ia hanya berdiri mematung di atas batu besar di pinggir sungai. Mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah.

Blukk! Blukk!

Tumpukan buah-buahan menggelinding tepat di samping Sri Kantil.

"Makanlah, Sri!"

Sri Kantil memungut satu dua buah. Lalu mencucinya dengan air sungai. Setelah itu ia kembali berdiri di atas batu.

Seraya menggigit buah di tangannya, Sri Kantil menatap tajam ke arah pemuda yang bersandar santai pada sebatang pohon sekitar lima depa di hadapannya.

"Siapa kau? Kenapa kau tahu banyak tentang diriku?" Sri Kantil menyipitkan satu matanya.

"Apalah arti sebuah nama bagimu, Sri? Kau boleh memanggilku dengan nama apa saja! Pendekar sinting juga boleh!"

***

Sementara itu di tempat lain, Mbah Brojo duduk bersila berhadapan dengan Pendekar Caping Maut. Wajah lelaki tua itu tampak menyimpan rasa kecewa.

"Kau tidak semestinya bersikap sembrono, Diman. Kau tahu, Sri Kantil tidak segan memilih mati demi mempertahankan Kitab Kalamenjara itu," Mbah Brojo menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Diman alias Pendekar Caping Maut seketika membuang muka.

"Kalau saja pemuda sialan itu tidak menghalangiku, sudah kurajam habis tubuh Sri Kantil!"

"Kau yakin akan melakukannya, Diman? Sebab sepengetahuanku --- sejak dulu kau menaruh hati pada perempuan cantik murid kesayangan Nini Surkanti itu."

Bersambung ke bag 2: Semburat Luka Lama

***

Malang, 26 September 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun