Ada yang bilang, jika nasibmu selalu sial, maka peliharalah seekor kucing. Maka keberuntungan akan menghampirimu.
Sayang sekali saya tidak suka kucing. Dan sayangnya juga nasib saya tidak selalu sial. Jadi tidak ada alasan bagi saya untuk memelihara seekor kucing.
Tapi saya tidak bisa menolak ketika suatu siang, sepulang sekolah--Denok, anak gadis saya, membawa kardus yang di dalamnya berisi seekor kucing. Saya terkejut dan sedikit panik. Bukan apa-apa. Sudah saya jelaskan. Saya tidak menyukai kucing. Kucing jenis apa pun. Baik itu kucing lokal maupun kucing keturunan.
"Mama, titip hewan lucu ini ya. Kasihan, dia tadi kebingungan di tengah jalan," Denok berkata seraya meletakkan kardus berisi kucing itu begitu saja di dekat saya.
"Dia ras Anggora, Ma," Denok melanjutkan.
"Hewan ini pasti ada yang punya, Nok. Jadi untuk apa kamu bawa pulang?" akhirnya keluar juga suara saya.
"Itulah, Ma. Semoga pemiliknya segera datang mencari. Kasihan si Mawat harus terpisah dari tuannya," Denok berjongkok. Membuka tutup kardus lebar-lebar dan membiarkan kucing yang meringkuk di dalamnya melompat keluar.
"Mawat?" saya mundur beberapa langkah.
"Iya, Mawat. Aku yang memberi nama dia begitu."
Tiba-tiba saja tengkuk saya terasa dingin.
"Dia bukan Candramawat kucing Nyi Anteh itu, bukan?" saya menatap Denok tak berkedip. Denok tidak menyahut. Ia hanya tertawa kecil.
***
Seharian itu saya merasa gelisah. Sesekali mata saya tertuju ke luar rumah. Berharap ada orang datang mencari kucingnya yang hilang. Tapi hingga hari gelap, tak seorang pun yang datang berkunjung. Dan jadilah malam itu kucing berbulu abu-abu keperakan itu tidur di rumah saya.
Mulanya saya tidak terlalu memperhatikan. Tapi ketika Denok memasukkan hewan berbulu itu ke dalam kandang berjeruji---entah dari mana anak gadis saya itu mendapatkannya, barulah saya melihat ada sesuatu yang ganjil. Kucing itu memiliki warna mata yang berbeda. Mata sebelah kiri berwarna biru dan yang sebelah kanan berwarna kuning.
"Ma, kalau sampai besok tidak ada yang mencari Mawat, berarti ia sah menjadi milik kita. Siapa tahu kucing ini memang kucing Nyai Anteh yang dikirim turun ke bumi untuk memberi peruntungan kepada kita," Denok berkata seraya menyeret kandang berisi kucing sampai ke gudang yang terletak di dekat dapur.
Saya membuntuti Denok dari belakang. Sebelum meninggalkan gudang dan kembali ke kamar, saya membantunya menutup pintu.
Dari balik jendela kamar saya bisa melihat, di luar bulan sedang bersinar penuh. Bersih tanpa dihiasi bayang-bayang. Melihat bulan seperti itu, tiba-tiba saya teringat legenda Nyai Anteh dan kucingnya.
Adalah Raden Anantakusuma, putra Adipati dari Kadipaten Wetan yang merasa getun ketika dijodohkan dengan Putri Endahwarni pewaris Kerajaan Pakuan. Karena sebenarnya Raden Anantakusuma tidak mencintai sang putri. Tersebab hatinya telah terpikat pada gadis lain, yakni Anteh. Dan cintanya semakin menjadi-jadi ketika melihat Anteh tampil sangat cantik pada malam acara pernikahannya dengan Putri Endahwarni. Ya, kala itu Anteh didapuk sebagai among tamu.
Anteh sendiri sebenarnya adalah anak angkat Raja Pakuan. Ibunya dulu bekerja di istana sebagai emban dan sudah meninggal.
Ketika mengetahui Raden Anantakusuma tidak mencintainya, Putri Endahwarni segera mengusir Anteh. Gelagat suaminya yang menunjukkan bahwa ia menaruh hati kepada Anteh telah membuat pewaris Kerajaan Pakuan itu terbakar api cemburu.
Akan halnya Raden Anantakusuma, sekalipun Anteh telah diusir dan meninggalkan istana, ia tetap tidak bisa melupakan gadis itu. Maka dikejarnya Anteh tiada henti. Karena merasa ketakutan dan tidak tahu lagi harus bersembunyi di mana, Anteh melarikan diri ke bulan bersama kucing kesayangannya, Candramawat.
Tidak dijelaskan bagaimana cara Anteh naik ke bulan. Tahu-tahu ia beserta kucingnya sudah berada di sana.
Saya beberapa kali mendengar kisah ini dari nenek saya--dulu ketika masih kecil. Dan saya berkali pula mendongengkannya kembali kepada Denok.
Kiranya anak gadis saya itu masih menyimpan dengan baik legenda Nayi Anteh itu di dalam pikirannya.
Angin malam berembus kencang. Saya bergegas menutup jendela kamar yang sejak tadi saya biarkan terbuka. Di luar bulan purnama masih utuh, masih bersih.
Baru saja beberapa menit merebahkan badan, tiba-tiba terdengar suara mencurigakan dari arah gudang di mana kucing temon itu sedang meringkuk.
Praaang...!!!
Seperti suara piring terjatuh. Saya pun beranjak bangun, bergegas keluar kamar menuju gudang untuk melihat apa yang terjadi.
Ketika pintu gudang terkuak, mata saya terbelalak. Keadaan di dalam gudang porak poranda. Kandang jeruji terguling. Dan mahluk berbulu yang semula berada di dalamnya--raib.
Kemana kucing bermata aneh itu pergi? Melewati pintu gudang jelas tidak mungkin. Karena pintu sudah saya tutup rapat-rapat.
Mata saya beralih ke arah lain. Ke sudut ruangan. Di sanalah saya menemukan biang keladinya. Ya, jendela gudang ternyata dalam keadaan terbuka.
Perlahan saya mengayun langkah mendekati jendela. Sebelum menangkupkan kedua daunnya yang berderak-derak tertiup angin, saya menengadah, menatap bulan di langit yang masih bersinar penuh.
Dan saya terperangah.Â
Bulan kini telah berbayang-bayang.
Selanjutnya saya melihat dengan jelas. Nyai Anteh--perempuan penunggu bulan itu tengah duduk manis menenun kain panjang yang berjuntai. Sementara kucingnya yang seharian menghilang, ucul turun ke bumi, mencakar-cakar kain tenun sambil menyeringai ke arah saya.
***
Malang, 28 Agustus 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H