Saya beberapa kali mendengar kisah ini dari nenek saya--dulu ketika masih kecil. Dan saya berkali pula mendongengkannya kembali kepada Denok.
Kiranya anak gadis saya itu masih menyimpan dengan baik legenda Nayi Anteh itu di dalam pikirannya.
Angin malam berembus kencang. Saya bergegas menutup jendela kamar yang sejak tadi saya biarkan terbuka. Di luar bulan purnama masih utuh, masih bersih.
Baru saja beberapa menit merebahkan badan, tiba-tiba terdengar suara mencurigakan dari arah gudang di mana kucing temon itu sedang meringkuk.
Praaang...!!!
Seperti suara piring terjatuh. Saya pun beranjak bangun, bergegas keluar kamar menuju gudang untuk melihat apa yang terjadi.
Ketika pintu gudang terkuak, mata saya terbelalak. Keadaan di dalam gudang porak poranda. Kandang jeruji terguling. Dan mahluk berbulu yang semula berada di dalamnya--raib.
Kemana kucing bermata aneh itu pergi? Melewati pintu gudang jelas tidak mungkin. Karena pintu sudah saya tutup rapat-rapat.
Mata saya beralih ke arah lain. Ke sudut ruangan. Di sanalah saya menemukan biang keladinya. Ya, jendela gudang ternyata dalam keadaan terbuka.
Perlahan saya mengayun langkah mendekati jendela. Sebelum menangkupkan kedua daunnya yang berderak-derak tertiup angin, saya menengadah, menatap bulan di langit yang masih bersinar penuh.
Dan saya terperangah.Â