Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wayang | Gelung Keling dan Wahyu Dharma Prabu Puntadewa

24 Agustus 2018   05:12 Diperbarui: 24 Agustus 2018   06:59 2193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jadilah pemimpin untuk dirimu terlebih dulu, anakku. Sebelum engkau menjadi pemimpin bagi orang lain."

Ucapan di atas disampaikan oleh Dewi Kunti seraya menggelung rambut panjang putra pertamanya, Raden Puntadewa. Sang bocah yang kala itu baru saja beranjak remaja mendengarkan petuah Ibundanya dengan takzim. Dan gelung keling serta petuah sang Ibu itu kelak akan sangat berguna bagi kehidupannya.

Tentang kelahiran Raden Puntadewa sendiri, dikisahkan--akibat lalai memanah dua ekor kijang jelmaan Resi Kimindama dan Rara Dremi yang sedang asyik masyuk memadu kasih, Prabu Pandudewanata harus rela menjalani kutukan. Ia tidak diperbolehkan menyentuh dan bercinta dengan kedua istrinya, Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Jika melanggar kutukan tersebut maka sang Prabu akan mendapat celaka.

Akibat menjalani kutukan tersebut, jauh kemungkinan kedua istri raja Hastinapura itu bisa memiliki keturunan.

Adalah Resi Druwarsa, seorang pertapa tua dari Gunung Saptaarga yang memberi pertolongan kepada Dewi Kunti dengan memberi sebutir mangga ajaib. Mangga Pertanggajiwa itu telah diisi dengan benih kama sang Prabu Pandu. Dan mangga tersebut jika dimakan akan menyebabkan Dewi Kunti mengandung.

Dewi Kunti menerima pemberian Resi Druwarsa dengan penuh suka cita. Ia membagi kebahagiaan dengan tidak memakan mangga itu sendirian. Diirisnya  mangga Pertanggajiwa menjadi lima bagian. Dua bagian ia serahkan kepada madunya---Dewi Madrim.

Atas bantuan Batara Dharma, dewa paling baik dan paling sempurna di seantero jagat Kahyangan lahirlah Puntadewa dalam waktu sekejap. Dan banyak yang meyakini, sesungguhnya Puntadewa adalah titisan Batara Dharma itu sendiri.

Namun perjalanan hidup Puntadewa sebagai putra Pandu tidaklah mudah.

Semua berawal dari sang jumeneng ratu. Prabu Pandudewata. Dimana ia adalah pemilik sah kerajaan Hastinapura. Yang wajib mewariskan kerajaannya tersebut kepada putra sulungnya Raden Puntadewa jika kelak ia sudah turun tahta.

Seperti diketahui, ada Bala Kurawa yang tak henti membayangi kehidupan Raden Puntadewa berserta keempat adiknya. Bayang kejahatan dan ambisi yang ditunggangi justru oleh para sesepuh kerajaan itu sendiri.

Usai didapuk menjadi raja Hastinapura menggantikan Ayahandanya, Prabu Puntadewa semakin merasakan bahwa menjadi seorang raja diagung itu tidaklah semudah yang dibayangkan. Ia teringat kembali kata-kata Ibundanya. Ia harus bisa menjadi memimpin untuk dirinya sendiri sebelum siap memimpin orang lain.

Maka ketika ujian datang bertubi-tubi menggilasnya, keculasan demi keculasan silih berganti berusaha menjatuhkan kedudukannya sebagai maharaja, Prabu Puntadewa memutuskan untuk sumeleh ing ati. Ia sama sekali tidak merasa getun ketika harus terusir dari istananya. Ia justru merasa bersyukur saat bisa merasakan kembali dadi wong cilik, menjadi rakyat jelata.

Dalam lelana brata di hutan Wanamarta---hutan wingit yang kelak menjadi cikal bakal kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa menikmati benar laras kehidupannya. Kehadirannya sebagai orang biasa di sebuah tempat yang sepi gung liwang liwung, dimana segala jalma di dalamnya sama sekali tidak mengenal dan memedulikannya, membuatnya merasa telah menemukan arti hidup yang sesungguhnya.

Tidak harus menunggu menjadi raja atau pemimpin untuk melakukan kebajikan. Menjadi jelata pun, tidak akan melunturkan keluhuran budi jika itu dilakukan dengan ketulusan dan sepenuh hati.

Saat jumeneng menjadi raja yang disibukkan oleh hal-hal penuh muslihat, barangkali kesempatan menolong dan memperhatikan mahluk lemah tidak sempat terpikirkan.

Prabu Puntadewa mengalami hal itu.

Ketika suatu hari ia melihat perkelahian tidak seimbang antara seekor burung puyuh dengan seekor burung rajawali, seketika hatinya berrgetar. Ia melihat ketidakadilan itu ternyata ada di mana-mana. Yang kuat menindas yang lemah nampaknya sudah menjadi hukum alam.

"Tidak sepantasnya engkau menyerang mahluk tak berdaya seperti dia!" Prabu Puntadewa gegas melerai sembari memarahi habis-habisan sang rajawali.

"Aku terpaksa melakukannya, Dinda Prabu. Sebab anak-anakku sedang kelaparan," burung rajawali membela diri.

"Berhentilah menyerang dia! Ambil saja daging tubuhku seberat tubuh burung kecil itu sebagai pengganti makanan anak-anakmu," Prabu Puntadewa menyingsingkan busananya dan menyerahkan lengannya yang putih kepada sang rajawali.

Tawaran sang Prabu seketika menghentikan perkelahian. Dan burung rajawali mulai menguliti daging Prabu Puntadewa sedikit demi sedikit.

Yang terjadi ternyata di luar dugaan. Berat tubuh burung puyuh melebihi kapasitas berat tubuh sang Prabu. Sebanyak apa pun daging Parbu di-fillet, tetap tidak bisa menyamai berat tubuh burung kecil itu.

Akhirnya baik burung puyuh maupun rajawali merasa kasihan, tidak tega melihat tubuh kurus itu tak lagi berdaging. Keduanya pun segera menyudahi penyamaran, menjelma kembali menjadi dewa.

"Sesungguhnya kami datang untuk mengujimu, duhai, putra Pandu," ujar salah satu dewa yang menyamar itu seraya tersenyum.  

Lantas sejauh kisah ini bergulir, pesan apa yang sudah tersampaikan?

Ada saatnya kita kembali menjadi bukan siapa-siapa. Bahkan cicak pun tak perlu mengenali siapa diri kita. Namun setidaknya kita telah mencoba berbuat sesuatu. Sesuatu yang lebih baik dan lebih hebat dari kemarin.

Prabu Puntadewa boleh kalah dan menyerahkan seluruh tahtanya kepada kezoliman. Atau meninggalkan segala kemewahan raja diraja kepada yang tidak berhak. Tapi ia tidak boleh kehilangan siapa jati dirinya.

Oh, iya. Seperti biasa, adakah yang bisa menjelaskan apakah itu gelung keling dan Wahyu Dharma?

***

Malang, 24 Agustus 2018

Lilik Fatimak Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun