Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kandidat Terpilih

15 Agustus 2018   20:16 Diperbarui: 15 Agustus 2018   21:44 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : www.123rf.com

Tiga pria duduk melingkari satu meja di sebuah warung. Pria pertama--berusia kisaran 40 tahun bernama Muhari. Pria kedua 50 tahun biasa dipanggil Mas Mud. Dan pria ketiga yang paling berumur, orang biasa menyebutnya dengan sapaan Mbah Min.

Petang itu wajah ketiganya tampak tegang dan lelah. Kerut merut di dahi menyiratkan bahwa masing-masing tengah memikirkan sesuatu. Sesuatu yang amat sangat penting.

Waktu terasa begitu lambat bergulir. Kopi yang semula mengepul sudah mulai mendingin. Muhari berkali-kali menggeser duduknya. Ia terlihat paling gelisah di antara kedua rekannya. 

"Jam berapa dia akan datang?" tanya Mas Mud. Suaranya garing. Napasnya agak tersengal. Sejak tadi kedua tangannya bersedekap di atas dada sebagai upaya untuk mengurangi hawa dingin yang menusuk. Cuaca memang sedang tidak bersahabat. Sangat ekstrim. 

Mas Mud agak menyesal karena lupa membawa jaket. Ia hanya sempat mengenakan kemeja warna putih. Kemeja gres yang siang tadi baru jadi dan diantar sendiri oleh tukang jahit langganannya ke rumah.

"Dia akan tiba setengah jam lagi," Muhari menjawab pertanyaan Mas Mud sambil memainkan jemarinya pada pinggang cangkir. Sesekali pandangannya tertuju pada arloji yang menempel di pergelangan tangan kanannya.

"Kukira prediksimu salah, anak muda. Orang yang kita tunggu-tunggu sudah datang," Mbah Min berdiri. Menyambut sosok yang berjalan melenggang mendekati meja mereka. 

***

Sosok yang baru datang itu tersenyum, menyalami satu persatu ketiga pria yang lebih dari satu jam menunggunya. Kemudian ia menarik kursi dan ikut duduk bergabung bersama mereka mengitari meja.

"Boleh saya pesankan kopi?" Muhari menawarkan. 

"Kebetulan saya tidak minum kopi," sosok itu menggeleng pelan. Tangannya lincah mengeluarkan berkas-berkas dari dalam tas kecil yang berada di atas pangkuannya. Setelah mengamati lembaran kertas-kertas itu sejenak, ia meletakkannya ke atas meja. 

"Silakan mengisi data-data diri lengkap pada formulir yang sudah saya siapkan ini. Saya menunggu..." sosok itu kembali tersenyum.

Sekitar lima belas menit lembar kertas sudah terisi dan berpindah tangan. Sebelum beranjak dari kursi sosok itu berkata,"Nanti sekitar pukul sembilan saya akan mendeklarasikan siapa yang berhak mendampingi saya..."

***

Sesampai di rumah ia mengeluarkan satu persatu lembar kertas yang disimpan rapi di dalam tasnya. Pandangannya berhenti pada satu nama. Ia tampak serius mengamati. Membaca data-data yang tertera dengan seksama. Setelah dirasa cukup ia tersenyum lalu memutuskan tidak perlu lagi memeriksa lembar kertas yang lain. 

"Jadi kau sudah menemui mereka, Wi--para kandidat itu?" Ibunya yang sejak tadi berdiri di belakangnya menegur. Sontak ia menoleh. Lalu mengangguk kecil.

"Iya, Bu. Aku sudah memastikan siapa yang layak mendampingiku," ujarnya riang.

"Syukurlah. Boleh Ibu tahu siapa orangnya?"

Ia berdiri. Menghampiri Ibunya dan menyebutkan satu nama.

Seketika Ibunya tertegun.

"Kau tidak sedang bergurau, kan, Wi?"

Ia menggeleng. Kemudian gegas melangkah memeluk erat pundak perempuan sepuh yang melahirkannya itu. Meyakinkan sekali lagi bahwa keputusan yang diambilnya sudah tepat. Sudah sesuai dengan hati nuraninya yang paling dalam. 

"Kau serius memilih Mbah Min, Wi?" sekali lagi Ibunya menegaskan.

"Serius, Bu. Sangat. Aku sudah sreg pada pilihanku ini."

"Wi...beri alasan mengapa kau menjatuhkan pilihanmu padanya--pada pria sepuh itu?"

Pratiwi tidak menyahut. Ia terdiam cukup lama. Tentu saja hal itu membuat Ibunya semakin diliputi rasa penasaran.

Apakah pembaca ada yang bisa membantu menjelaskan mengapa gadis itu lebih memilih Mbah Min--pria sepuh yang berprofesi sebagai tukang reparasi jam tangan ketimbang dua kandidat lain untuk mendampingi hidupnya?

***

Malang, 15 Agutus 2018 

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun