"Aku tidak pantas melihat isi flashdisk ini, Sherlick. Sungguh sangat tidak pantas! Terlalu vulgar. Kukira yang seperti ini bagianmu," ia berdiri. Meraih sandal di bawah kolong meja dan berlalu meninggalkan ruang baca.
Sepeninggal Jhon mataku serius tertuju pada layar laptop. Tanganku mulai memainkan mouse. Berselancar ke sana ke mari.Â
Ah, Jhon, ia terlalu mengada-ada. Tak ada yang istimewa. Hanya sederet kalimat yang ditulis meggunakan huruf Italic.Â
Meski begitu aku tergoda juga untuk membacanya.
Nona Mirza, ia menuliskan sesuatu. Semacam syair berbait panjang.
---
Awal Juli
Aku adalah sekuntum mawar
Mawar putih yang tumbuh di taman tak bertuan
Mawar yang nyaris luruh dihempas badai
Aku adalah sekuntum mawar
Dalam kesendirianku aku berjuang untuk tetap bisa bertahan
berdiri tegak menjalani hari-hari yang teramat panjang dan sesak
Aku adalah sekuntum mawar
Mawar putih yang mulai rapuh
Satu-satu kelopakku berguguran
Warnaku tak lagi putih
Tapi abu-abu
Demikian jugakah hatiku?
Jika akhirnya Tuan menemukanku
dan meletakkanku di atas jambangan indah sebagai pajangan
sudah meningkatkah harkatku sebagai sekuntum mawar?
Kutanyakan padamu, duhai waktu
Adakah yang lebih munafik dari membohongi diri sendiri?
Tentang jatuh cinta
Tentang mencintai
Tentangmu Tuan, tentang janji, madu, dan mimpi
di sepanjang tepian malam
Aku sekuntum mawar
yang terpenjara oleh kesunyian
Jadi kumohon jangan pertanyakan, cinta sungguhkah ia?Â
Atau janji-janji palsukah itu, yang begitu mulus menggelontor
keluar dari bibir Tuan yang memang tidak bertulang