Kisah Sebelumnya : Ryan--teman Bram yang memiliki wajah mirip dengan Mas Bagas terpaksa menyamar menggantikan posisi mantan perwira yang terjun ke dunia politik itu.
Lantas apa kabar Mas Bagas yang asli?
---------
Bram menyeduh kopi di dalam teko kecil. Aromanya yang wangi membuat cuping hidung Bagas bergerak-gerak.
"Sudah bangun, Mas?" Bram menoleh. Menatap sosok kekar yang masih meringkuk di atas ranjang.
"Kok aku berada di sini?" Bagas beranjak kaget. Pandangannya menyapu seluruh ruangan.
"Mbak Ajeng yang membawamu ke sini, Mas," Bram menyahut seraya membuka jendela kamar. Membiarkan udara pagi yang sejuk menyusup ke dalam pondok kecil di tengah hutan itu.
"Ajeng? Mana dia?" Bagas melempar pandang. Mengintip jajaran cemara yang merimbun.Â
"Istrimu pulang duluan. Kita ngopi dulu, yuk," Bram menuang kopi panas ke dalam dua cangkir. Lalu diletakkannya di atas meja. "Oh, iya. Kata Mbak Ajeng, kalau Mas Bagas mau latihan menembak, pistolmu ada di...."
"Aku sudah mengundurkan diri dari dunia militer, Bram."
"Benarkah?" Bram memiringkan kepalanya sedikit. Bagas mengangguk.
"Loh, padahal Mbak Ajeng bilang, tentara adalah cita-cita Mas Bagas sejak kecil. Bahkan ia mengaku jatuh cinta padamu gara-gara melihat Mas mengenakan seragam prajurit."
"Tahu apa Ajeng tentang diriku?" Bagas bergumam setengah tertawa. Ia menurunkan kedua kakinya. Dikenakannya sandal jepit yang tercecer di bawah ranjang. Agak limbung ia berjalan menuju meja. Diraihnya cangkir kopi, diseruputnya isinya sedikit.
"Sebuah pengabdian yang jauh lebih besar sedang menungguku, Bram," desahnya seraya menarik kursi.Â
"Pengabdian apa itu, Mas?"
"Menjadi pelayan masyarakat."
"Memang prajurit bukan pelayan masyarakat?"
"Ini konteksnya beda, Bram."
"Itu berarti Mas Bagas harus siap bersaing."
"Maksudmu?"
"Setahuku, Mas Bagas belum pernah terjun secara langsung menghadapi masyarakat. Masih minim pengalaman. Maaf, kalau aku berkata terlalu jujur."
"Kau lupa, Bram. Aku mempunyai guru hebat yang mumpuni. Guru besar yang sangat kaya pengalaman. Sekian tahun beliau mengabdikan diri untuk melayani masyarakat di negeri ini, apakah itu belum cukup?" Bagas menyipitkan kedua matanya.
"Tapi, Mas, pencalonan dirimu begitu tiba-tiba dan--terkesan dipaksakan."
"Ah, tidak juga. Tidak ada istilah memaksa dan terpaksa di sini. Semua mengalir begitu saja." Bagas membetulkan letak duduknya. Ia menatap pemuda gondrong di hadapannya itu dengan senyum penuh percaya diri.
"Lantas apakah Mas juga sudah menyiapkan program kerja andalan seperti mereka?"
"Seperti kandidat-kandidat itu, maksudmu? Tentu saja sudah. Jangan menyepelekan tim suksesku, Bram. Mereka sudah menyiapkan serentetan program andalan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang."
"Contohnya?"
"Contohnya--menghadapi masalah banjir. Aku sudah tahu solusi terbaiknya."
Bram terdiam. Ia jadi teringat kata-kata Ajeng beberapa waktu lalu.
"Kau tahu Bram? Solusi apa yang bakal Mas Bagas paparkan untuk menangani banjir?" waktu itu Ajeng menatapnya dengan wajah sulit diterjemahkan. Bram menggeleng.
"Kota terapung, Bram! Coba bayangkan! Amazing, bukan?" Ajeng menaikkan nada suaranya. Seketika Bram menahan tawa.
"Kenapa, Bram?" Bagas yang tengah menyeruput kopi nyaris tersedak. Ia heran melihat pemuda gondrong itu cengar-cengir sendiri.
"Anu, Mas, tidak apa-apa. Cuma--kalau boleh jujur lagi, aku sependapat dengan Mbak Ajeng. Mas Bagas terlihat jauh lebih keren dan macho ketika memakai seragam prajurit ketimbang...."
Bram tidak melanjutkan kalimatnya. Sebab dilihatnya Bagas meringis seraya memegangi bawah perutnya.
***
Ajeng tengah merapikan kamar tidur ketika ponselnya berdering nyaring.
"Yah, Bram? Oh, dia sudah siuman?"
"Iya, Mbak. Efek obat tidurnya sudah hilang."
"Lalu di mana dia sekarang?"
"Di kamar mandi, Mbak...."
"Baguslah. Ada yang ingin Mbak tunjukkan padamu."
Bram menunggu. Beberapa menit kemudian muncul foto yang dikirim oleh Ajeng pada layar ponselnya. Ia mengamati foto itu dengan seksama.
"Sudah terkirim fotonya, Bram?" terdengar suara Ajeng dari seberang.
"Iya, Mbak. Sudah. Tapi foto siapa itu?"
"Itu foto Mas Bagas ketika bertemu publik. Usai melakukan orasi."
"Kok posisinya tengkurap di atas kerumuan banyak orang?"
"Lagi moshing, Bram. Moshing!" suara Ajeng terdengar kesal.
Kali ini Bram benar-benar tidak mampu lagi menahan tawa.
***
Sambil menunggu Bagas yang masih berada di kamar mandi, Bram menyiapkan sarapan. Sebakul nasi, tempe goreng, ikan asin dan urap sayur sudah terhidang di atas meja. Pemuda gondrong itu tinggal menyiapkan piring dan segelas air putih.
"Jangan beri kesempatan Mas Bagas meninggalkan pondok, ya, Bram. Setelah sarapan, masukkan lagi obat tidur ke dalam minumannya." Begitu pesan terkini dari Ajeng. Bram mengiyakan. Ia sangat maklum apa sebenarnya yang diinginkan kakak sepupunya itu.
Hampir satu jam pintu kamar mandi belum juga terbuka. Bagas tak kunjung keluar. Bram mulai was-was.
"Mas Bagas? Mas tidak apa-apa, kan?" Diketuknya pintu berulang-ulang. Tak ada sahutan. Khawatir terjadi sesuatu, Bram segera mendorong pintu kamar mandi sekuat tenaga. Pintu pun terjeblak.Â
Bram buru-buru melongokkan kepala. Sesaat mata pemuda itu terbelalak.
Kamar mandi dalam keadaan kosong. Tidak ada siapapun.
Bram bergegas meraih ponselnya. Dengan panik dihubunginya Ajeng.
"Mbaaaak! Mas Bagasmu hilang!"
***
Malang, 15 Agustus 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H