"Loh, padahal Mbak Ajeng bilang, tentara adalah cita-cita Mas Bagas sejak kecil. Bahkan ia mengaku jatuh cinta padamu gara-gara melihat Mas mengenakan seragam prajurit."
"Tahu apa Ajeng tentang diriku?" Bagas bergumam setengah tertawa. Ia menurunkan kedua kakinya. Dikenakannya sandal jepit yang tercecer di bawah ranjang. Agak limbung ia berjalan menuju meja. Diraihnya cangkir kopi, diseruputnya isinya sedikit.
"Sebuah pengabdian yang jauh lebih besar sedang menungguku, Bram," desahnya seraya menarik kursi.Â
"Pengabdian apa itu, Mas?"
"Menjadi pelayan masyarakat."
"Memang prajurit bukan pelayan masyarakat?"
"Ini konteksnya beda, Bram."
"Itu berarti Mas Bagas harus siap bersaing."
"Maksudmu?"
"Setahuku, Mas Bagas belum pernah terjun secara langsung menghadapi masyarakat. Masih minim pengalaman. Maaf, kalau aku berkata terlalu jujur."
"Kau lupa, Bram. Aku mempunyai guru hebat yang mumpuni. Guru besar yang sangat kaya pengalaman. Sekian tahun beliau mengabdikan diri untuk melayani masyarakat di negeri ini, apakah itu belum cukup?" Bagas menyipitkan kedua matanya.