Air mataku jatuh, serupa genangan.
Menganak sungai.
Wangi bunga menur masih merebak memenuhi ruang hatiku.
Kalau saja aku tak disaput malu, ingin rasanya aku menjerit sekeras-kerasnya.
"Kau masih bisa hamil, Pris..." suaramu membuatku menghidu udara senja yang kian temaram. Ya, kau selalu bilang begitu. Selalu bilang aku harus bersabar. Kau tidak tahu bahwa rasa itu--sabar, ia baru saja lenyap bersama angin yang membawa jasadnya pergi.
Hidungku semakin memerah. Suaraku sengau pecah.
Kau mengulurkan tangan. Meraih selembar tisu dan menyodorkan perlahan ke arahku.
"Sudah, hentikan tangismu," ujarmu seraya mengelus lembut kedua belah pipiku.Â
***
Seperti kapas tubuhku ringan melayang di udara. Menuju gumpalan awan. Aku tidak sendiri. Beberapa bidadari bersayap keemasan menemaniku. Mereka--para bidadari itu menari-nari dan bersenandung riang menghiburku.
Masih, aku mendengar suara perempuan itu. Yang menamai diriku Menur. Ia terisak dengan cuping hidung yang memerah.
Salah seorang bidadari mengganti popokku. Kemudian menggendongku.
"Kami adalah pengganti Ibumu, Menur. Kami akan menjaga dan merawatmu sebaik ia. Beri tahu perempuan itu. Jangan mengendap kesedihan terlalu lama," salah seorang dari bidadari membisikiku.