Cinta sejati tidak seperti itu. Tidak akan merampas hak-hak. Apalagi sampai memaksakan kehendak. Kau masih juga belum mau menerima penjelasanku.
Baiklah. Kau boleh membela Sri Rama. Seperti kau selalu membela MU--tim kesebelasan idolamu itu.
Tapi izinkan aku melanjutkan kisah ini, kisah tentang Rahwana sang pemilik cinta sejati.
Pada malam kesekian pasca penculikan, ketika Rahwana datang menemui Dewi Shinta di peraduan, dilihatnya jarit sang dewi tersingkap hingga betis mulusnya jelas terlihat. Apakah kau mengira Rahwana akan menyergapnya? Atau melampiaskan birahinya yang selama ini terpendam? Tidak. Raja Alengka itu hanya berdiri diam. Menatap berlama-lama tubuh mungil yang tergolek pulas di atas tempat tidur. Ditungguinya dengan penuh kesabaran hingga sang pemilik mata indah itu terbangun.
Seperti yang sudah-sudah, Rahwana tidak pernah lelah bertanya dan bertanya lagi dengan penuh kelembutan. Pertanyaan yang diramu sedemikian elok dalam secawan puisi.Â
Duhai, apakah sang dewi sudah berkenan membuka hati?Â
Tunggu! Jangan sela dulu kalimatku. Sebab kisah ini belumlah usai.
"Ketika Rahwana menanyakan hal itu--lagi dan lagi. Tentang hatiku, perasaanku, apakah aku bisa menerima cintanya, atau setidaknya akan mengingat betapa besar rasa rasa cinta yang ia miliki, melebihi cinta Sri Rama terhadapku, saat itu juga aku menangis. Kukatakan padanya bahwa aku sama sekali tidak menutup mata dan hatiku."
Itu sepenggal surat yang ditulis oleh Dewi Shinta, yang disembunyikan di sebalik bantal yang berhasil kutemukan.
Mencintai tidak semestinya merampas kebahagiaan orang lain. Lagi, kau menghela napas panjang. Tanpa sedetik pun matamu beralih dari layar kaca yang tengah menayangkan perhelatan piala dunia.
Bersama Rama, Shinta tidak bahagia, bisikku tertahan. Entah engkau bisa mendengarnya atau tidak.