Meski begitu, ritual mudik tetap dilaksanakan.Tetap menjadi agenda rutin yang tidak bisa ditinggalkan.
Dulu saat mendampingi Bapaknya anak-anak pulang kampung, kemacetan adalah hal yang selalu kami alami. Terutama ketika mobil sudah mendekati area pelabuhan. Duh, bisa berjam-jam terjebak antre di sana.
Berbeda dengan orang tua, anak-anak malah menikmati suasana macet dengan santai. Mereka terlihat sangat menikmati. Bisa turun dari mobil dan berjalan-jalan di sekitar area kemacetan untuk menyaksikan dari dekat barisan kendaraan yang panjang mengular.
Mudik Tidak Harus Berjarak JauhÂ
Istilah mudik kiranya telah mengalami pergeseran makna. Jika dulu yang disebut mudik adalah mereka--para perantau nun jauh di sana yang berniat pulang kampung, sekarang meski menetap dalam satu daerah dengan orang tua atau sanak kerabat, pun jika ada yang bertanya, "Mudik kemana lebaran nanti?", maka dengan senang hati akan dijawab, "Mudik ke rumah orang tua, di dekat-dekat sini saja."
Saya juga demikian. Kebetulan orang tua saya dan sanak famili tinggal di satu wilayah. Hanya berjarak sekitar 5 km. Cukup naik motor selama lima belas menit maka akan segera sampai di tempat tujuan.
Apakah mudik yang jaraknya dekat juga akan meninggalkan kesan?
Tentu saja. Berkumpul dengan orang tua, sanak saudara, handai taulan di bulan Ramadan senantiasa akan memberi kesan mendalam. Momen-momen indah bisa kami ciptakan dengan ngobrol bareng, masak bareng atau sekadar tertawa-tawa mengenang masa kecil sebagai penawar rasa kangen.
Selamat menyongsong datangnya hari lebaran. Semoga ibadah puasa hari ini lancar.
***
Malang, 07 Juni 2018