Pulang kampung atau mudik di jelang hari lebaran ibarat sebuah manasik perjalanan. Seberat apapun persiapan dan pengorbanan yang dilakukan tidak akan pernah menimbulkan penyesalan.
Mudik lebaran memang telah menjadi ritual wajib bagi masyarakat Indonesia---khususnya bagi para perantau baik yang merantau di seberang pulau atau di negeri orang. Semua akan berbondong-bondong, menyempatkan diri untuk pulang menengok sanak saudara, handai taulan atau keluarga tercinta yang telah lama ditinggalkan.
Segala fasilitas jauh-jauh hari telah dipersiapkan guna memperlancar kegiatan mudik yang dilakukan hanya satu tahun sekali ini.
Lagi-lagi saya punya kenangan manis berkenaan dengan ritual mudik lebaran ini.
Ceritanya, bapaknya anak-anak (baca: mantan) adalah seorang perantau yang terdampar di hati saya, ups, maksud saya di Pulau Jawa. Tepatnya di kota kelahiran saya yang indah tiada duanya ini.
Dan beliau di setiap jelang lebaran--biasanya H-3, sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Semisal pergi ke bengkel untuk mengecek kondisi mobil, belanja keperluan bahan makanan atau cemilan untuk bekal selama di perjalanan mudik nanti.
Sebagai Nyonya tentu mau tidak mau saya ikut rempong. Heboh menyiapkan keperluan anak-anak yang ketika itu masih kecil-kecil. Dan alhasil, dua kopor besar serasa tidak cukup muat menampung pakaian beserta segala tetek bengek keperluan anak-anak yang bejibun.
Macet saat lebaran adalah suasana yang dibenci sekaligus dirindukan
Siapa juga yang suka dengan suasana macet? Semua orang pasti menginginkan perjalanannya lancar sampai ke tujuan.
Namun, jangan diharap ketika jelang lebaran tiba, terutama di titik-titik tertentu akan menemukan jalan sepi  mamring  bebas hambatan. Semua pengguna jalan bakal mengalami dan merasakan suasana yang disebut macet ini.
Ya, macet memang ada di mana-mana tanpa bisa dihindari. Bagaimana mungkin dihindari? Lah, wong kita sendiri adalah salah satu pelaku dari kemacetan itu.
Meski begitu, ritual mudik tetap dilaksanakan.Tetap menjadi agenda rutin yang tidak bisa ditinggalkan.
Dulu saat mendampingi Bapaknya anak-anak pulang kampung, kemacetan adalah hal yang selalu kami alami. Terutama ketika mobil sudah mendekati area pelabuhan. Duh, bisa berjam-jam terjebak antre di sana.
Berbeda dengan orang tua, anak-anak malah menikmati suasana macet dengan santai. Mereka terlihat sangat menikmati. Bisa turun dari mobil dan berjalan-jalan di sekitar area kemacetan untuk menyaksikan dari dekat barisan kendaraan yang panjang mengular.
Mudik Tidak Harus Berjarak JauhÂ
Istilah mudik kiranya telah mengalami pergeseran makna. Jika dulu yang disebut mudik adalah mereka--para perantau nun jauh di sana yang berniat pulang kampung, sekarang meski menetap dalam satu daerah dengan orang tua atau sanak kerabat, pun jika ada yang bertanya, "Mudik kemana lebaran nanti?", maka dengan senang hati akan dijawab, "Mudik ke rumah orang tua, di dekat-dekat sini saja."
Saya juga demikian. Kebetulan orang tua saya dan sanak famili tinggal di satu wilayah. Hanya berjarak sekitar 5 km. Cukup naik motor selama lima belas menit maka akan segera sampai di tempat tujuan.
Apakah mudik yang jaraknya dekat juga akan meninggalkan kesan?
Tentu saja. Berkumpul dengan orang tua, sanak saudara, handai taulan di bulan Ramadan senantiasa akan memberi kesan mendalam. Momen-momen indah bisa kami ciptakan dengan ngobrol bareng, masak bareng atau sekadar tertawa-tawa mengenang masa kecil sebagai penawar rasa kangen.
Selamat menyongsong datangnya hari lebaran. Semoga ibadah puasa hari ini lancar.
***
Malang, 07 Juni 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H