Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pada Pertemuan Keenam

22 April 2018   22:57 Diperbarui: 23 April 2018   00:28 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber :www.patheos.com

Saat pertama kali datang menemuiku, ia terlihat amat kacau. Rambutnya kusut masai. Kulit wajahnya kusam. Ia berbicara dengan napas hidung. Suaranya terdengar sengau. Kalau bukan karena profesi yang mengharuskanku menahan diri, barangkali aku sudah terpingkal-pingkal melihat penampilannya kala itu.

"Dokter...Anda harus menolong saya," ia menatapku dengan mimik memelas.

"Apa yang kau inginkan?" meski aku tahu apa yang ada dalam pikirannya, aku tetap merasa perlu mengajukan pertanyaan seperti itu. Aku ingin menyelami sejauh mana karakter yang dimiliki oleh pasien baruku yang mengaku bernama Leo itu.

"Saya sudah lelah dengan kondisi saya, Dokter. Saya ingin memperbaiki semuanya."

"Secara total?"

Ia mengangguk.

"Itu tidak mudah. Selain butuh waktu bertahap juga butuh biaya yang sangat mahal."

"Saya memilki cukup banyak uang, Dokter. Dokter tidak perlu khawatir. Saat ini juga Anda bisa membuatkan saya  price list  berapa  budget  yang harus saya siapkan."

***

Di pertemuan kedua ia terlihat lebih ceria. Kulit wajahnya tampak mengencang dan terlihat lebih putih. 

"Terima kasih, Dokter. Saya mulai percaya diri," suara sengaunya terdengar manja.

"Kau sudah siap menjalani tahap berikutnya?" aku menatapnya serius. Ia mengangguk seraya meraba indera penciumannya.

"Saya sudah tidak sabar lagi, Dokter. Ingin segera melihat bentuk hidung saya yang baru."

***

Pada pertemuan ketiga senyumnya merekah bak bunga di musim semi. Ia tak henti bercermin. Mengagumi hidungnya yang baru, yang  kini mencuat ke atas dengan bentuk sangat bagus.

"Apa yang kau rasakan sekarang?" aku bertanya basa-basi.

"Bahagia, Dokter."

"Berarti tugasku sudah rampung."

"Belum. Saya masih ingin merapikan rahang saya. Bibir saya. Juga mata saya."

"Itu akan merusak semua karya Tuhan."

"Bukan merusak, Dokter. Anda justru telah berbuat kebaikan karena membuat orang lain bahagia."

Aku tercenung. Melumat habis kata-katanya. 

Setelah menimbang-nimbang akhirnya aku menyerah. Aku memilih mengabulkan keinginannya.

***

Di perjumpaan keempat ia benar-benar sudah berubah total. Penampilannya bak boneka barbie. Cantik menggemaskan.

Tapi tampaknya ia  type  manusia yang tidak pernah puas.

"Dokter, jadikan saya perempuan sejati. Anda paham maksud saya bukan?"

"Itu berarti menyalahi kodratmu yang terlahir sebagai laki-laki."

"Saya terlahir di dalam tubuh yang salah, Dokter."

"Tak ada yang salah dari kehendak Tuhan."

Ia terdiam. Mengerucutkan bibirnya ke depan hingga beberapa senti.

"Dokter. Percayalah. Saya akan merekomendasikan Anda kepada teman-teman saya bahwa Andalah satu-satunya dokter ahli bedah yang paling hebat," ia mulai merayu. "Ah, tapi itu terserah Anda. Jika Anda keberatan, saya bisa mencari dokter lain."

Ia berdiri. Merapikan gaun seksinya dan bersiap untuk pergi.

Aku menahannya.

"Baiklah. Aku akan melakukannya, Leo. Untukmu." 

Aku ikut berdiri. Ia mengerjapkan matanya yang indah. Sambil mengumbar senyum tangan kanannya terulur, menyalamiku.

***

Pertemuan kelima terjadi secara tidak sengaja. Suatu sore di sebuah pusat perbelanjaan kota aku melihatnya tengah dirubung oleh para awak media. Penampilannya  glamour.  Tampaknya ia sudah bermetamorfosis secara utuh, sudah menjelma menjadi selebriti seperti yang selama ini diidam-idamkannya. 

Ia sempat melihatku sekilas. Ya, hanya sekilas. Ia lebih memilih kembali meladeni pertanyaan para wartawan yang mengelilinginya.

"Nona Gracia, status Anda sempat diragukan oleh banyak orang. Benarkah Anda telah menjalani operasi  transgender?"

"Sama sekali tidak benar. Itu berita bohong yang sengaja disebarkan oleh orang-orang yang tidak suka dengan keberhasilan saya. Itu fitnah. Mereka iri kepada saya dan berusaha menjatuhkan saya dengan berbagai cara."

"Tapi kami mempunyai banyak bukti yang menguatkan bahwa Anda memang melakukan operasi itu. Oh, rupanya ada Dokter Patra di sini! Dokter, apa pendapat Anda tentang berita Nona Gracia ini?" seorang wartawan memergokiku. Wartawan itu mengarahkan mikrofon di tangannya ke arahku.

Si cantik yang sempurna itu ikut menoleh ke arahku. Alisnya yang bersulam mencuat sedikit. Senyum yang semula menghiasi wajahnya seketika memudar.

"Maaf, saya tidak mengenal dokter ini. Siapa dia?"  ia menatapku dengan pandang sinis. Lalu ditemani managernya ia melangkah ringan menuju mobil yang sudah menunggu.

***

Pertemuan keenam terjadi di ruang praktikku. Ia muncul dengan wajah murung. Matanya sembab. Hidung palsunya kembang kempis menahan tangis. 

"Apa kabarmu, Leo?" aku masih memanggilnya dengan nama itu. 

"Maafkan saya, Dokter."

"Maaf untuk apa? Kejadian beberapa bulan lalu di pusat perbelanjaan itu? Aku sudah melupakannya." Aku tertawa.

Mendadak ia menangis. Suaranya mendecit seperti anak tikus yang baru lahir.

"Dokter masih mau menolong saya, bukan?" ia menatapku menggunakan ekspresi yang sama persis dengan saat pertama kali kami bertemu. Ekspresi memelas penuh harap.

"Kukira aku sudah terlalu banyak menolongmu, Leo. Dari seorang yang bukan siapa-siapa--yang mengaku tersesat lahir, hingga menjadi selebriti cantik yang dielu-elukan seperti sekarang."

"Tapi...Dokter, ternyata hidup saya tidak bahagia. Orang-orang terus menerus mem-bully saya. Melecehkan dan menghina saya. Ini sungguh tidak adil, Dokter."

"Itu semua buah dari kesombonganmu, Leo. Kau terlalu munafik. Orang-orang hanya ingin mendengar kejujuranmu."

"Kenapa Dokter jadi ikut-ikutan memojokkan saya?" laki-laki bernama asli Leo itu menghapus airmatanya. Pandangannya berubah nanar.

"Masyarakat akan terus menertawakan dirimu selama kau tidak berusaha memperbaiki diri, Leo. Ini hanya sekadar saran. Jangan menutupi kenyataan dengan kebohongan," aku menatapnya serius. Ia mendengus. Napasnya panas seperti napas kerbau yang kehabisan air.

"Dokter sialan! Benar-benar sialan!" mendadak ia kalap. Tinjunya siap melayang ke arah wajahku.

Menghadapi kekalapannya aku tidak tinggal diam. Kutahan kepalan tinju yang nyaris mengenai hidungku. Lalu kutusuk punggung tangannya dengan benda kecil runcing yang sudah kupersiapkan.

Ya, aku sudah mengantisipasi semuanya. Aku tahu betul bagaimana karakter Leo. Enam kali bertemu dengannya sudah cukup bagiku untuk mengenalinya dengan baik.

Ia gemetar sesaat. Lalu tubuhnya yang sintal menggelosoh di lantai.

"Patra, apakah ia mati?" Laluna, istriku bertanya cemas.

"Tidak Laluna. Ia tidak mati. Ia hanya pingsan. Kau pergilah ke kamarmu."

Lima belas menit aku menunggunya siuman. Ia memekik histeris saat membuka mata. Terutama ketika mendapati dirinya tidak lagi sempurna. Kulitnya yang mulus mengeriput. Wajah barbienya menggelambir seperti lelehan es krim. Payudaranya yang bulat meletus. Hidung bagusnya meleleh. 

Sekujur tubuhnya telah berubah drastis. Penampilanya menjadi sangat mengerikan. Jauh lebih mengerikan dari sebelum bertemu denganku.

***

Malang, 22 April 2018

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun