"Masyarakat akan terus menertawakan dirimu selama kau tidak berusaha memperbaiki diri, Leo. Ini hanya sekadar saran. Jangan menutupi kenyataan dengan kebohongan," aku menatapnya serius. Ia mendengus. Napasnya panas seperti napas kerbau yang kehabisan air.
"Dokter sialan! Benar-benar sialan!" mendadak ia kalap. Tinjunya siap melayang ke arah wajahku.
Menghadapi kekalapannya aku tidak tinggal diam. Kutahan kepalan tinju yang nyaris mengenai hidungku. Lalu kutusuk punggung tangannya dengan benda kecil runcing yang sudah kupersiapkan.
Ya, aku sudah mengantisipasi semuanya. Aku tahu betul bagaimana karakter Leo. Enam kali bertemu dengannya sudah cukup bagiku untuk mengenalinya dengan baik.
Ia gemetar sesaat. Lalu tubuhnya yang sintal menggelosoh di lantai.
"Patra, apakah ia mati?" Laluna, istriku bertanya cemas.
"Tidak Laluna. Ia tidak mati. Ia hanya pingsan. Kau pergilah ke kamarmu."
Lima belas menit aku menunggunya siuman. Ia memekik histeris saat membuka mata. Terutama ketika mendapati dirinya tidak lagi sempurna. Kulitnya yang mulus mengeriput. Wajah barbienya menggelambir seperti lelehan es krim. Payudaranya yang bulat meletus. Hidung bagusnya meleleh.Â
Sekujur tubuhnya telah berubah drastis. Penampilanya menjadi sangat mengerikan. Jauh lebih mengerikan dari sebelum bertemu denganku.
***
Malang, 22 April 2018
Lilik Fatimah Azzahra