***
Pertemuan keenam terjadi di ruang praktikku. Ia muncul dengan wajah murung. Matanya sembab. Hidung palsunya kembang kempis menahan tangis.Â
"Apa kabarmu, Leo?" aku masih memanggilnya dengan nama itu.Â
"Maafkan saya, Dokter."
"Maaf untuk apa? Kejadian beberapa bulan lalu di pusat perbelanjaan itu? Aku sudah melupakannya." Aku tertawa.
Mendadak ia menangis. Suaranya mendecit seperti anak tikus yang baru lahir.
"Dokter masih mau menolong saya, bukan?" ia menatapku menggunakan ekspresi yang sama persis dengan saat pertama kali kami bertemu. Ekspresi memelas penuh harap.
"Kukira aku sudah terlalu banyak menolongmu, Leo. Dari seorang yang bukan siapa-siapa--yang mengaku tersesat lahir, hingga menjadi selebriti cantik yang dielu-elukan seperti sekarang."
"Tapi...Dokter, ternyata hidup saya tidak bahagia. Orang-orang terus menerus mem-bully saya. Melecehkan dan menghina saya. Ini sungguh tidak adil, Dokter."
"Itu semua buah dari kesombonganmu, Leo. Kau terlalu munafik. Orang-orang hanya ingin mendengar kejujuranmu."
"Kenapa Dokter jadi ikut-ikutan memojokkan saya?" laki-laki bernama asli Leo itu menghapus airmatanya. Pandangannya berubah nanar.