"Naiklah," ujarku pada Irmina seraya menghidupkan mesin motor kembali. Kali ini perasaanku jauh lebih tenang.
Lima belas menit kemudian motor berbelok arah, berhenti di sebuah tempat semacam klinik kesehatan.
"Kau tidak usah ikut masuk, Amar. Di ruang tunggu yang antre kebanyakan ibu-ibu," Irmina menatapku sekilas. Menanggapi ucapan perempuan itu aku mengangguk. Jujur aku lebih senang berada di luar, berjauhan dengannnya. Menurutku itu jauh lebih baik daripada harus menemaninya masuk ke dalam ruang periksa dokter. Selain itu aku juga harus menghindari kemungkinan bertemu banyak orang, yang bisa saja mencurigaiku lantas mengendus penyamaranku.
Sepeninggal Irmina aku duduk santai di sebuah bangku panjang tak jauh dari tempat parkir. Kukeluarkan sigaret dari saku jaketku. Sejenak aku teringat. Ini jaket milik Amar. Jaket yang kutukar saat kami mengalami kecelakaan di jurang itu.
Sembari mengembuskan asap rokok ke udara tinggi-tinggi aku tercenung.
Sampai kapan penyamaranku ini akan bertahan? Aku yakin lambat laun semua kebohongan ini pasti akan terbongkar.
Bah! Aku mengutuk diriku sendiri yang telah bertindak bodoh. Sangat bodoh.Â
"Menunggu istrinya, Mas?" seorang juru parkir mengagetkanku. Aku menoleh. Mendadak juru parkir itu berseru histeris begitu melihat wajahku.
"Rams! Anda Rams, bukan? Oh, aku pasti tidak salah lihat. Ya, Anda memang Rams!"
Juru parkir itu semakin heboh. Ia tidak memberiku kesempatan barang sejenak untuk bicara. Ia terus saja meracau seraya mengeluarkan ponselnya dan mengarahkan kamera ke arahku.
"Kita  selfi  dulu! Mimpi apa aku semalam sampai bisa bertemu dengan bintang idolaku ini!" berkali-kali juru parkir itu merandek ke arahku.Â