-----------
Meski aku seorang aktor yang terbiasa memainkan berbagai macam karakter dan seni peran, bukan berarti menyamar sebagai Amar adalah hal mudah. Yang kuhadapi bukanlah sebuah skenario film atau drama yang kisahnya bisa diatur sedemikian rupa. Tapi yang kuperankan kali ini adalah kisah nyata. Dan dalam kisah nyata kita tidak bisa terlalu berharap muncul sebuah keajaiban. Kecuali kita berusaha menciptakan keajaiban itu sendiri.
Seperti sore itu. Aku musti mengantar Irmina pergi ke dokter. Memboncengnya dengan motor. Bersentuhan tangan dengannya, walau sesekali. Dan itu cukup membuat jantungku berdebar tak beraturan.Â
"Tumben kau tidak ugal-ugalan menjalankan motormu, Amar?" suara Irmina berpacu dengan deru angin. Aku tidak menyahut. Hanya membatin dalam hati. Duh, Ir. Andai aku menambah kecepatan apakah tidak akan membuatmu semakin erat melingkarkan tangan di pinggangku?Â
Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Aku harus menghindari hal-hal yang membuat hormon dalam tubuhku meningkat.
Laju motor sengaja kupelankan. Aku menyetir sambil memikirkan banyak hal. Salah satunya adalah penyesalan. Ya, seharusnya aku tidak menyanggupi permintaan Amar dengan melakukan penyamaran konyol ini. Tapi ah, sudahlah. Kukira penyesalanku tak ada gunanya. Sudah terlambat.
"Kau salah arah, Amar! Ini bukan jalan menuju tempat praktek Dokter Bambang."
"Ah, ban bagian depan butuh isi angin," aku sengaja mengalihkan pembicaraan. Kebetulan mataku melihat sebuah bengkel. Aku segera mematikan mesin. Irmina turun dari boncengan. Kemudian berjalan perlahan mengikutiku.
Sembari menunggu pemilik bengkel memompa angin, aku meraih ponselku, membuka  google map  untuk mencari tahu alamat Dokter Bambang.Â
Irmina benar. Aku memang salah arah.
Beruntung aku menemukan alamat dokter itu. Huft, aku bisa menarik napas lega. Paling tidak satu masalah sudah terpecahkan.