Jika kau mengira lesakkan bantal akan membuatnya nyenyak terlelap, kau salah besar. Justru meringkuk di balik bantal membuatnya semakin jelas melihat wujud angsa-angsa yang menari-nari di alam pikirannya. Angsa-angsa itu berbulu indah. Sangat indah. Sayap mereka yang mengilap berkepak rampak memamerkan gerakan memukau semirip penari balet yang kerap ditontonnya di layar kaca.
Berjenak-jenak waktu ia melupakan bahwa saat itu dirinya sedang sakit. Benar-benar sakit.
Kalau saja ia tidak merasakan ngilu yang tiba-tiba mendera pergelangan tangan kanannya, barangkali ia sudah ikut menari bersama angsa-angsa itu. Kau pasti belum tahu. Semasa kecil ia adalah seorang penari handal. Yang sering diminta untuk tampil di panggung pada acara 17 Agustusan.
Ah, ia memang penulis bebal. Meski mulai susah menggerakkan jemari tangannya, ia masih saja ingin menulis.Â
Ia memaksakan diri melakukannya karena tidak ingin mengecewakan angsa-angsa yang sudah datang mengunjunginya, yang dengan senang hati merelakan diri menjadi ide tulisannya.Â
Meski dengan begitu berarti ia telah mengecewakan kekasihnya yang saat ini tentu sangat mengkhawatirkan keadaannya.
Hari hampir subuh. Angsa-angsa dalam benaknya mulai lelah. Gerakan mereka pun melemah. Lalu satu persatu dari angsa-angsa itu jatuh terkapar.
Mungkin saja angsa-angsa itu sudah mati. Atau sengaja mematikan diri supaya penulis itu kehilangan imajinasi.
Tapi dasar penulis bebal! Kematian angsa-angsa justru membuat idenya kian santer bermunculan. Ia mendadak ingin menulis tentang peri yang bisa menghidupkan angsa-angsa yang sudah mati. Dalam wujud peri ia akan menciptakan tongkat sihir. Juga mantra-mantra ajaib yang sangat manjur.Â
Bluup!
Itu suara bantal yang meletus. Kau pernah mendengar suara seperti itu?Â