Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Penulis, Sakit dan Angsa-angsa

16 April 2018   05:27 Diperbarui: 16 April 2018   05:51 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.pinterest.com

Penulis itu sudah berjanji kepada kekasihnya. Bahwa ia akan tidur selama dua tiga hari ini. Katanya, ia ingin membayar hutang untuk waktu yang selama ini dipinjamnya--waktu yang dihabiskannya hanya untuk menulis hingga ia mengabaikan kesehatanya.

Ia jatuh sakit karena kurang minum. Sebab setiap kali hendak menuang segelas air putih atau secangkir kopi, ide menulis menariknya kuat-kuat. Membuatnya berlari kembali ke kamarnya, duduk manis menghadapi laptop tuanya dan melupakan tenggorokannya yang kering.

Ia juga jarang makan. Tubuhnya kian ramping. Semirip lembar triplek yang mudah tertiup angin.

Soal jarang makan, bukan berarti ia tidak memiliki stok makanan. Bukan. Bukan karena itu. Ia hanya keasyikan jika kadung menarikan jemarinya. Baginya semakin banyak ia menulis, ia merasakan perutnya semakin kenyang. 

Sekarang penulis itu telah merasakan akibatnya. Ia jatuh sakit. Meringkuk tak berdaya di atas ranjangnya. Tubuhnya panas dingin. Ditemani laptop tuanya yang sengaja dibiarkan menyala.

"Benar kau akan tidur selama dua tiga hari ini?" tanya angsa-angsa yang tiba-tiba saja muncul dari kepalanya. Angsa-angsa itu bersuara gaduh. Membuat ia susah memejam mata. Dengan mata berat dan berair, ia menatap angsa-angsa yang bersliweran itu. 

"Kau harusnya mengabaikan angsa-angsa itu!" mata kirinya memprotes keras. Sementara mata kanannya meriyip-riyip lelah.

Ia kembali menutup kelopak matanya. Mencoba bersikap adil. Bagaimanapun juga ia tidak ingin dituduh sebagai manusia terkejam di dunia. Manusia yang tega menganiaya dirinya sendiri dengan mengabaikan kesehatannya.

Tapi angsa-angsa itu tak bisa diusir begitu saja dari pikirannya. Mereka bahkan bertindak semakin vulgar, menari-menari dengan gerakan erotis sembari melantunkan lagu masa kecil yang sangat digemarinya. Lagu Potong Bebek Angsa.

"Tutup telingamu dengan bantal! Jangan hiraukan angsa-anga itu. Ingat, sore tadi kau sudah berjanji kepada kekasihmu untuk..." kali ini protes dari kedua telinganya mengiang. Mendadak kedua daun kupingnya terasa panas. Ia memiringkan sedikit kepalanya. Pening. 

Ia pun memutuskan untuk mengikuti kata-kata telinga yang sepertinya amat kesal dengan kebebalannya. Diraihnya bantal. Ditenggelamkannya wajahnya dalam-dalam.

Jika kau mengira lesakkan bantal akan membuatnya nyenyak terlelap, kau salah besar. Justru meringkuk di balik bantal membuatnya semakin jelas melihat wujud angsa-angsa yang menari-nari di alam pikirannya. Angsa-angsa itu berbulu indah. Sangat indah. Sayap mereka yang mengilap berkepak rampak memamerkan gerakan memukau semirip penari balet yang kerap ditontonnya di layar kaca.

Berjenak-jenak waktu ia melupakan bahwa saat itu dirinya sedang sakit. Benar-benar sakit.

Kalau saja ia tidak merasakan ngilu yang tiba-tiba mendera pergelangan tangan kanannya, barangkali ia sudah ikut menari bersama angsa-angsa itu. Kau pasti belum tahu. Semasa kecil ia adalah seorang penari handal. Yang sering diminta untuk tampil di panggung pada acara 17 Agustusan.

Ah, ia memang penulis bebal. Meski mulai susah menggerakkan jemari tangannya, ia masih saja ingin menulis. 

Ia memaksakan diri melakukannya karena tidak ingin mengecewakan angsa-angsa yang sudah datang mengunjunginya, yang dengan senang hati merelakan diri menjadi ide tulisannya. 

Meski dengan begitu berarti ia telah mengecewakan kekasihnya yang saat ini tentu sangat mengkhawatirkan keadaannya.

Hari hampir subuh. Angsa-angsa dalam benaknya mulai lelah. Gerakan mereka pun melemah. Lalu satu persatu dari angsa-angsa itu jatuh terkapar.

Mungkin saja angsa-angsa itu sudah mati. Atau sengaja mematikan diri supaya penulis itu kehilangan imajinasi.

Tapi dasar penulis bebal! Kematian angsa-angsa justru membuat idenya kian santer bermunculan. Ia mendadak ingin menulis tentang peri yang bisa menghidupkan angsa-angsa yang sudah mati. Dalam wujud peri ia akan menciptakan tongkat sihir. Juga mantra-mantra ajaib yang sangat manjur. 

Bluup!

Itu suara bantal yang meletus. Kau pernah mendengar suara seperti itu? 

Ah, jika saja saat ini kau dekat dengan penulis yang sedang sakit itu, kau pasti bisa mendengar suara bluup yang aneh itu, yang membuat si penulis bergegas bangun dan meraih laptop tuanya.

***

Malang, 16 April 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun