Semalam diam-diam saya mengamati kasus kematian Rose. Kalau saja polisi mampu menjelaskan secara gamblang bagaimana racun sianida itu sampai bisa tertelan oleh Rose, tentu saya tidak akan berpikir terlalu jauh.Â
Saya masih menyimpan data berupa tanggapan dari satu dua orang pembaca yang bisa saya jadikan acuan untuk menuntaskan rasa penasaran saya. Entah mengapa saya terus saja dihantui pikiran bahwa kematian Rose bukan akibat bunuh diri.Â
Saya meyakini hal itu sebab, jika benar murni bunuh diri--seperti yang sudah diungkapkan pihak polisi, mengapa Rose tidak meninggalkan pesan apa pun? Seseorang yang memilih mati bunuh diri biasanya cenderung meninggalkan sepatah dua patah yang menunjukkan ia tengah dalam keadaan putus asa. Semisal kata  goodbye,  I'm  sorry  atau apa saja yang bisa dijadikan rujukan bahwa ia memang layak untuk bunuh diri.
Tapi Rose tidak melakukannya.
"Rose gadis baik. Sore itu seperti biasa ia melakukan rutinitasnya sebagai guru privat di sebuah studio musik. Rose memang menyambi kerja sambil kuliah," pengakuan salah seorang teman dekat Rose, Mirrel.
Sore itu?
Saya mencatat baik-baik penjelasan Mirrel dalam hati.Â
Seperti diketahui Rose ditemukan meninggal di kamar hotel bernomor 67 setelah ia menginap sehari sebelumnya. Jadi 'sore itu' Rose sebenarnya absen tidak pergi ke studio musik.Â
"Apakah Rose memiliki pacar?" tanya saya serius. Mirrel mengangguk.
"Bagaimana hubungan mereka? Maksud saya--hubungan Rose dan pacarnya itu."
"Sejauh ini mereka terlihat baik-baik saja. Tapi entahlah. Saya tidak terlalu jauh mencampuri urusan mereka."