Jleg!! Tahu-tahu sosok tinggi besar bersimpuh di hadapannya, menggelandot erat di kakinya sembari berkata, "Kangmas...Kangmas Bimasena. Aku jatuh cinta padamu."
Bimasena berusaha menahan diri untuk tidak marah. Sesuai dengan karakternya yang pendiam, putra kedua Prabu  Pandu Dewanata itu hanya mengibaskan kakinya sedikit. Namun kibasan yang sedikit itu mampu membuat mahluk aneh yang semula bertekuk lutut di hadapannya terpental jauh.
Merasa lega terlepas dari entah siapa dia--Bimasena kembali menyandarkan punggung pada sebatang pohon beringin yang rindang. Ia merasakan sekujur tubuhnya amat lelah. Seharian itu ia telah membelah kayu bergelondong-gelondong untuk membuat gubuk tinggal bagi Ibu dan saudara-saudaranya. Ia ingin rehat sejenak.
Tapi baru saja matanya terpejam, ia merasakan pijatan lembut pada punggung dan kedua pundaknya. Adik dari Yudistira itu sontak membuka mata.
Mahluk itu lagi!Â
Bimasena refleks menepis tangan berukuran besar itu sembari menggeram.
"Apa maumu yang sebenarnya wahai mahluk buruk rupa?" Bimasena telah kehilangan kesabaran. Dengan sekali hentak dilemparkannya tubuh raseksi yang belum sempat memberi tahu siapa jati dirinya itu, jauh-jauh dari hadapannya.
"Anakku Bimasena, jangan perlakukan perempuan sekasar itu! Lihatlah ia. Betapa lemah dan tak berdayanya," Dewi Kunti menasehati putranya. Bimasena tidak begitu mendengarkan. Rasa kantuk lebih menguasai dan membuat ia memilih terlelap kembali.
Raseksi yang terhempas itu menangis. Suara isaknya terdengar memilukan di telinga Dewi Kunti.
"Siapa namamu duhai Raseksi nan jelita?" dengan lembut Dewi Kunti bertanya.
"Saya Arimbi. Adik dari Arimba raja Pringgandani yang beberapa waktu lalu tewas terbunuh oleh Kakangmas Bimasena," raseksi itu menjawab dengan pipi merona. Sebutan raseksi nan jelita membuatnya tersipu.