"Oh, aku baru tahu! Jadi celanaku bolong gara-gara tikus yang sedang sedih, ya. Tadinya aku sempat kesal karena celana yang bolong itu adalah celana favoritku. Tapi kukira sekarang tidak lagi. Tikus kan juga butuh hiburan," Rash tersenyum.
Pembicaraan terhenti. Ibu masuk ke dalam kamar kami.
"Kenapa kalian belum mandi? Ini sudah sore," tangan Ibu menyentuh kepala kami, bergantian.Â
Aroma kesedihan terendus melalui jemari tangannya yang dingin.
 ***
Sejak sore itu, sejak mereka bertengkar hebat di ruang tamu, kami tidak lagi melihat kemunculan Bapak di rumah. Kata Ibu, Bapak tidak pulang karena sudah memiliki tempat tinggal baru.
"Oh, kukira Bapak kita sudah berubah menjadi tikus!" Rash berseru takjub.
"Kau yakin?" aku mengernyit alis.
"Yakin. Kan tikus suka berpindah-pindah tempat, mencari hal-hal baru," Rash menelengkan kepalanya sedikit. Aku mengangguk. Membenarkan ucapan Rash.
"Lalu kenapa Ibu tidak menyusul Bapak?" kali ini Rash menatapku dengan mata berkejap-kejap.
"Mungkin Ibu belum siap menjadi seekor tikus," jawabku serius. Aku berpikir begitu sebab aku masih sering melihat Ibu duduk termenung menatap foto Bapak. Bukankah tikus tidak suka duduk termenung?Â