"Karena kau sudah menduplikat diriku dalam bentuk patung, maka secara tidak langsung kau sudah menjadi muridku. Dan selayak seorang guru yang telah menurunkan ilmunya, kau wajib memberiku upah," Guru Durna berkata serius kepada Bambang Ekalaya yang siap-siap melesatkan anak panah terakhir.Â
"Upah apa yang mesti saya haturkan guru?" dengan wajah polos dan penuh rasa hormat Bambang Ekalaya bertanya.
"Potong satu jari tanganmu. Hanya itu satu-satunya upah yang setimpal yang patut kuterima."
Bambang Ekalaya, pemuda lugu yang sangat mengidolakan sang Guru Durna---yang di dalam hatinya hanya ada kebaikan-kebaikan tanpa syak wasangka, dengan suka rela segera meluluskan perintah itu. Dipenggalnya satu jemari tangannya tanpa ragu-ragu.Â
Dengan jemari tidak lengkap tentu saja Bambang Ekalaya kalah beradu lomba menghadapi Arjuna. Ia tak lagi leluasa memegang busur anak panahnya.
Guru Durna menarik napas lega saat menyaksikan Arjuna akhirnya bisa keluar sebagai pemenang.
Lantas bagaimana dengan perasaan Arjuna sendiri? Puaskah ia meraih kemenangan dengan cara licik seperti itu?
Ternyata tidak. Dalam hati kecil Arjuna menyesali tindakan gurunya. Ia merasa sangat bersalah telah membuat Bambang Ekalaya memotong jemari tangannya.Â
"Guru, sebenarnya pemenang sejati itu bukan aku. Tapi Bambang Ekalaya. Ia telah bertarung selayak seorang ksatria," Arjuna berkata bersungguh-sungguh seraya memungut potongan jemari Bambang Ekalaya yang tercecer di atas tanah.Â
Dan, ups! Potongan jemari itu mendadak melompat. Menempel lekat pada kelingking tangan kiri Arjuna.Â
"Guru...!!!" Arjuna berseru panik. Ia berusaha menyembunyikan jemari kirinya yang kini berjumlah enam.