"Dia terlalu rumit bagi saya. Ide-ide musik yang disodorkan kepada saya membuat kepala saya pening," Guru Hydn tersipu.
"Kembali kepada Fur Elise...apakah ini bukan suatu kekeliruan?" Guru Neefe meraih partitur itu. Mengamatinya baik-baik menggunakan kacamatanya yang bundar.
"Bagatelle.  Itu artinya pendek dan progresinya tidak terduga. Ah, tiba-tiba saja saya ingin mencoba memainkannya," Guru Neefe berdiri, berjalan menuju piano yang berada tidak jauh darinya.
Sebentar kemudian Fur Elise mengalun indah. Memenuhi ruangan yang semula hening.Â
Ketiga orang yang masih duduk melingkar di depan meja marmer tampak mulai terhanyut. Pikiran mereka menerawang jauh menembus masa silam. Masa  kejayaan di mana Ludwig Van Beethoven termasyhur dengan karya-karyanya.
Tiba-tiba saja mereka melihat kembali sosok pria berambut abu-abu itu, berdiri di antara mereka, dengan  style yang tidak berubah. Mengenakan jas hitam dan syal merah melilit apik di lehernya.
Ludwig Van Beethoven. Ia tidak sendiri. Di sampingnya berdiri seorang perempuan jelita nan anggun.
"Siapa dia?" tanpa sadar Guru Hydn bergumam.
"Therese..." terdengar jelas Ludwig menyebut kata itu.
"Therese?" Pangeran Franz bergumam. "Apakah artinya Fur Elise yang tertulis pada partitur itu adalah perempuan bernama Therese?"
Tidak ada jawaban. Sebab alunan musik yang dimainkan oleh Guru Neefe mendadak progresinya telah sampai pada nada-nada yang  mengejutkan.