Sudah lama Ibu meminta padaku untuk membawakannya sepasang kaki. Kaki baru yang bagus, katanya. Sebab kaki yang lama sudah tua, sudah tidak kuat lagi menopang tubuh rentanya.
Aku mengiyakannya. Meski agak lama aku baru bisa meluluskan permintaanya itu. Bukan apa-apa. Kesibukanlah yang membuatku agak mengabaikan.
Aku sesungguhnya tidak benar-benar melupakan permintaan Ibu. Sebab setiap kali melewati tempat itu, aku selalu menyempatkan untuk berhenti, menatap kaki-kaki yang berjajar yang tengah berjemur. Â Biasanya aku agak lama berhenti dan berpikir, kaki model apa yang bisa kubawa pulang untuk kupersembahkan kepada Ibu.
Tapi aku selalu gagal. Aku belum berhasil menemukan sepasang kaki indah seperti yang diinginkan Ibu. Kaki-kaki yang berselonjor di sana terlihat kaku dan biasa. Tidak menarik. Dan itu membuatku pulang tanpa membawa apa-apa.
Pagi itu kembali Ibu mengingatkanku. Mengatakan bahwa ia sudah sangat memerlukan sepasang kaki baru.
"Kau tahu Bram. Tanpa sepasang kaki itu aku tidak bisa melanjutkan pekerjaanku. Padahal sebentar lagi musim dingin tiba."
"Tapi aku belum menemukan sepasang kaki yang benar-benar sesuai," aku bergumam. Kurasa Ibu mendengarnya. Sebab ia langsung menyela, "tak apa model kakinya berbeda, Bram. Yang penting masih bisa dipakai untuk berdiri."
"Oh, baiklah. Aku akan segera kembali ke tempat itu," aku bergegas meraih jaket dan topi yang tersampir di belakang pintu.
Hari sudah petang. Ketika aku memasuki area di mana kaki-kaki itu biasa berjemur, seseorang menegurku.
"Aku beberapa kali melihatmu mondar-mandir di tempat ini. Apa yang kau cari anak muda?"
"Oh, Anda mengawasi saya, rupanya. Maafkan saya. Saya sedang melihat-lihat beberapa pasang kaki yang biasa berselonjor di sini. Saya beberapa kali berharap. Bisa menemukan sepasang yang cocok untuk Ibu saya." Aku mengangguk hormat ke arah lelaki tua yang tangannya belepotan cairan berwarna coklat dan baunya sangat menyengat.
"Kau membutuhkan sepasang kaki yang bagaimana untuk Ibumu? Barangkali aku bisa membantumu," lelaki tua itu berjalan menghampiriku. "Di dalam pondokku banyak sekali kaki-kaki. Kau bisa leluasa memilihnya."
Dan aku berseru takjub. Ketika masuk ke dalam pondok kudapati beberapa pasang kaki berselonjor rapi. Kaki-kaki itu sangat bagus, mulus dan cemerlang. Ibu pasti suka melihatnya.
Lalu aku memilih sepasang kaki yang ukurannya sesuai dengan permintaan Ibu. Kaki itu berbentuk melengkung. Seperti perahu.Â
Saat hendak membayar harga, lelaki tua dengan tangan belepotan cairan itu menolak.
"Untuk seorang anak yang sangat perhatian kepada Ibunya, aku ikhlas memberikan sepasang kaki itu secara cuma-cuma."
Dan kurasa aku harus menghormati ketulusan hati lelaki tua itu. Aku memasukkan kembali uangku ke dalam saku.
Aku mendapati Ibu sudah menunggu di ambang pintu ketika aku pulang. Ia berdiri dengan tubuh gemetar.
"Oh, syukurlah kau sudah mendapatkannya," ia tersenyum demi melihat sepasang kaki berada di dalam pelukanku.
"Cepatlah kau pasang kaki-kaki itu, Bram. Ibu sudah terlalu lelah berdiri."
Aku segera berjongkok. Melaksanakan perintah Ibu.Â
Setengah jam kemudian kedua kaki yang diinginkan Ibu sudah terpasang.Â
"Sekarang aku bisa melanjutkan pekerjaanku, Bram. Merajut syal hangat ini untukmu," Ibu berkata riang. Aku tersenyum. Menatap Ibu dan kursi goyang yang sekarang telah memiliki sepasang kaki baru.Â
Â
***
Malang, 27 Februari 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H