Melati menatap langit-langit rumah kontrakan yang ditempatinya. Kotor dan berdebu. Sebagian asbes digelayuti sarang laba-laba.
Ia mendesah. Sudah berapa lama tidak membersihkan rumah ini? Pikirannya mulai sibuk menghitung. Kalau tidak salah sejak Prastowo membawanya ke sini. Dua bulan lalu.
 Menjadi perempuan lain dari pria beristri sebenarnya  membuat hati Melati kian menjauh dari kata tenang. Meski semua berjalan baik-baik saja---dalam artian belum terendus oleh istri sah Prastowo, toh perasaan bersalah tetap tidak berhasil dihalau pergi. Ia merasa sudah bertindak sangat bodoh, tidak manusiawi. Yakni menyakiti hati perempuan lain.
Selain rasa bersalah yang berkepanjangan, hari-harinya juga diliputi rasa was-was. Bagaimana jika hubungan terlarang antara ia dan Prastowo suatu hari terbongkar? Apakah ia mampu menghadapinya?
Kekhawatiran itu akhirnya benar-benar menjadi kenyataan. Suatu petang seorang perempuan bernama Hartati yang mengaku sebagai istri sah Prastowo datang melabraknya, mendampratnya habis-habisan, melemparinya dengan berbagai macam hujatan.
Menanggapi perempuan yang sedang kalap seperti itu, Melati hanya bisa termangu. Diam seperti patung. Sama sekali tidak berkeinginan mengadakan perlawanan. Meski kalau mau, ya, kalau mau---ia bisa saja membalas caci maki yang dilontarkan oleh istri Prastowo itu dengan mengatakan, "Suamimu yang memulainya. Ia yang menggodaku lebih dulu. Suamimu yang mengejar-ngejar aku, atau..."
Tapi, ah, sudahlah. Percuma membela diri dengan mengatakan hal-hal semacam itu. Toh tidak akan banyak menolong. Bagaimanapun juga ia tetap dianggap perempuan perusak rumah tangga orang.
Bukankah pihak perempuan dalam kasus selingkuh menyelingkuh selalu dianggap pihak yang paling patut dipersalahkan?
Melati bergeming, membiarkan istri Prastowo melampiaskan kegeraman hatinya. Meluapkan amunisi kemarahannya. Bahkan ketika perempuan itu menjambak rambut dan menampar pipinya berulang-ulang, ia tetap terpaku diam.
Sekali lagi, kalau mau---ia bisa saja membalas serangan bertubi-tubi perempuan itu.
Tapi sekali lagi ia tidak berminat melakukannya. Ia sudah memutuskan untuk diam menerima segala bentuk perlakuan apa pun sebagai upaya menebus rasa bersalah yang selama ini disimpan dalam-dalam di dalam hatinya.