"Bodoh!" lagi-lagi kata kasar itu kudengar. Kali ini keluar dari mulut Ayah, lelaki yang telah mengukir jiwa ragaku, yang teramat sangat menyayangiku.Â
Aku tertunduk tak berani membalas tatapan Ayah.
"Dimana suamimu sekarang? Mana Dia?!"Â
"Mas Adi sedang mengurus surat pindah gadis itu, Ayah."
"Oh,  Nduk Rara. Kau ini benar-benar istri yang sangat bodoh!" Ayah mengepalkan tangannya dan meninju dinding ruang tamu berulang-ulang.
***
Oh, ya, belum kuceritakan apa yang membuat Ayah sebegitu marahnya padaku. Ayah telah mendengar desas-desus tidak sedap itu. Tentang Mas Adi.
Ketika Ayah mengkonfirmasikan kebenarannya padaku--aku mengiyakan, dan saat itulah Ayah tidak bisa lagi meredam emosinya.
Sebenarnya bukan hanya Ayah yang terlihat geram terhadap sikapku. Dua teman karibku, Jesi dan Erna juga tidak kalah kesalnya ketika mengetahui apa yang tengah terjadi dalam kehidupan rumah tanggaku.
"Kau masih waras kan, Ra?" Jesi menatapku tajam.
Aku tidak  menjawab.  Aku sendiri tidak tahu apakah aku ini masih waras atau tidak.