Beberapa menit kemudian laki-laki berpakaian serba hitam itu masuk kembali ke dalam Mushola. Ia berdiri di samping Kyai Sepuh lalu segera melakukan Sholat Subuh dua rakaat dengan khusuk.
Kyai Sepuh menunggu dengan sabar sampai tamu tak diundang itu menyelesaikan ibadahnya.
***
"Aku dulu juga bukan orang baik-baik. Aku pernah menjadi preman pasar yang setiap hari memalak para pedagang dan orang-orang yang kebetulan lewat di depanku. Tapi kemudian Allah membuka hatiku. Memberiku hidayah agar menyudahi petualangan burukku," Kyai Sepuh berkata lirih.
"Ba-gaimana Kyai tahu kalau saya seorang preman?" laki-laki asing itu menundukkan kepala.
"Hanya instingku saja. Aku tahu Kisanak tidak benar-benar berniat jahat. Kisanak hanya sedang bingung," Kyai Sepuh berkata seraya menatap laki-laki tak dikenal yang kini sudah duduk bersila di sampingnya.Â
"Maafkan saya, Kyai. Anda benar," orang itu tiba-tiba terisak. Tangisnya tak bisa dibendung lagi. Kyai Sepuh mengulurkan tangan, menyentuh pundak lelaki itu dari samping.
"Tidak apa-apa. Simpan kembali pedangmu itu. Aku sudah tua. Tanpa dibunuh pun aku pasti bakal mati."
Ucapan Kyai Sepuh semakin membuat tangis orang asing itu menjadi-jadi.
"Saya memang sedang bingung, Kyai. Saya berpikir Tuhan tidak adil terhadap saya."
"Kisanak, keadilan bagi Allah berbeda dengan keadilan yang terpikirkan oleh manusia."