Kali ini aku mengacungi jempol untuk Bapak yang berani menolak bujukan aparat setempat. Bapak dengan sisa-sisa keberaniannya mengatakan 'tidak' pada ajakan yang dinilai bisa menjatuhkan maruahnya.
Keberanian Bapak diungkapkannya melalui surat yang dikirim untukku.
------Apa  kabar  Bocah  Gemblung?
Hidup di tanah orang sebagai guru SD, tentu membuatmu kangen rumah. Tapi pengabdianmu jelas menjadikan Bapakmu ini bangga. Setidaknya Bapakmu bisa pamer dan sedikit menyombongkan diri di hadapan orang-orang sekitar yang dulu--ketika kamu masih kecil suka memandang sebelah mata kehidupan kita.Â
Kamu pasti masih bisa mengingatnya, kan, Le. Bagaimana kamu pulang sekolah sambil menangis,  gerung-gerung hanya karena diejek oleh salah seorang temanmu yang Ayahnya seorang pejabat.
"Bapak juga, sih, kenapa dulu putus sekolah. Jadinya ya seperti ini. Cuma bisa mengayuh becak!"
Bapak tidak lupa kata-kata yang kamu ucapkan itu, Le. Sambil wajahmu  prembik-prembik  dan ingusmu meler di sana sini. Waktu itu Bapak ingin sekali menjewer telingamu (sebab Bapak merasa kesal) bocah seumuran kamu kok ya sudah berani memprotes Bapaknya sendiri.
"Bapak putus sekolah karena tidak punya beaya, Le. Makanya kamu sekolah yang pinter. Biar bisa jadi dokter atau minimal menjadi seorang guru."
Dan doa Bapak terkabul.
Sekarang, meski statusmu hanya sebagai guru honorer, Bapakmu ini tetap saja merasa bangga. Memuji kamu terus menerus di depan tetangga kanan kiri. Maklum  wong  ndeso.
Oh, ya, Le. Saat ini Bapakmu sudah pensiun dari mengayuh becak. Bukan apa-apa. Aku hanya ingin mengistirahatkan kaki yang sudah lebih dari dua puluh tahun bekerja keras hingga kapalan. Juga pantat yang mengeras serasa tak berdaging.