Mendengar kata-kata Kakek aku tercenung.
"Kau masih bisa mengingat larik-larik berikutnya, bukan?" Kakek kembali menggerak-gerakkan kepalanya. Seketika aku menggeleng. Jujur aku hanya bisa mengingatnya sedikit.
"Ambil buku tua di dalam laci itu, Liz! Di sana aku pernah menuliskan tembang itu. Ayo, bergegaslah! Waktumu sangat terbatas."
Aku segera berjalan menuju laci meja. Mencari-cari buku tua yang dimaksud oleh Kakek.
"Semoga saja Ibumu tidak lupa membawakannya untukmu, Liz."
"Ada, Kek! Aku menemukannya!" aku berseru girang.
Dengan gugup aku membuka lembar buku yang kertasnya sudah menguning itu. Kemudian aku mulai membaca isinya.
"Ojo  tangi  nggonmu  guling.  Awas  jo  ngetoro.  Aku  lagi  bang  wingo-wingo.  Jin  setan kang  tak  utusi.  Dadiyo  sebarang.  Wojo  lelayu  sebet..."
Usai mengucap bait terakhir, mendadak lampu kamar padam. Ruangan berubah menjadi gelap gulita.
Suatu keanehan lain terjadi. Lukisan Kakek menyala, bersinar sangat terang. Bingkainya yang berukuran 20x40 sentimeter melebar, berubah menjadi ruangan tiga dimensi.
Tiba-tiba saja aku merasakan diriku sudah berada di suatu tempat yang sangat luas, berdiri di samping Kakek.