Pulang dari perantauan pertama kali yang kucari adalah dia. Drupadi. Aku tak peduli meski kulihat air muka Ibu sedikit berubah.
"Mengapa harus gadis itu?" tanya Ibu dengan nada kurang suka.Â
"Karena--dia istimewa," jawabku jujur. Ibu semakin tajam menatapku.
"Istimewa karena wajahnya cantik dan putih?" Ibu menegaskan. Aku terdiam, memutuskan mengalah. Tidak ingin berdebat dengan Ibu.
"Ilham, gadis itu telah pergi dari rumahnya. Orang tuanya mengalami kebangkrutan. Ia kecewa lalu memutuskan untuk mengadu nasib ke kota. Begitu desas-desus yang sempat kudengar," tanpa kuminta Ibu menceritakan perihal Drupadi.Â
Apa yang disampaikan Ibu tentu saja membuatku terhenyak.Â
Untuk beberapa saat hatiku bertanya-tanya, apa yang sudah terjadi pada gadis pujaanku itu?
***
Berbekal keterangan minim dari Ibu aku bertekat mencari Drupadi. Menyusulnya ke kota. Meski aku tahu tidak mudah mencari keberadaannya di antara hiruk pikuk manusia urban.Â
"Kau seperti mencari sebatang jarum di tumpukan jerami," Ibu mengingatkanku. Â Tapi kerinduanku pada gadis berkulit putih itu membuatku mengabaikan peringatan dan rasa was-was Ibu. Aku tetap pada keputusanku pergi ke kota mencari Drupadi.Â
Siang itu juga aku bergegas memesan tiket Kereta Api. Kutinggalkan Ibu dan juga rumah yang baru beberapa jam kusinggahi.Â
Ibu melepas kepergianku hingga pintu pagar tanpa berkata-kata.Â
***
Sepanjang perjalanan, di atas bangku kereta, pikiranku mengembara. Melayang-layang pada sosok Drupadi. Aku teringat bagaimana ia menatapku dengan mata sipitnya ketika aku pamit pergi merantau ke pulau seberang.
"Aku pasti akan merindukanmu, Ilham," ujarnya setengah tersipu.
"Benarkah?" aku tersenyum menggodanya. ia mengangguk.
"Tidak ada lagi yang akan memanggilku Drupadi," ia berkata lirih seraya memilin-milin ujung rambutnya yang tergerai.
Aku terdiam.Â
Ia benar. Hanya aku yang memanggilnya Drupadi. Sebab memang nama itu pemberianku. Nama tokoh pewayangan yang sangat kukagumi.Â
Dua jam berselang Kereta Api yang kutumpangi berhenti di setasiun terakhir. Aku melompat turun dan memulai pencarian. Setiap orang yang kutemui kusodori foto Drupadi. Barangkali saja mereka pernah melihatnya atau mengenalinya.
Tapi usahaku tidak membuahkan hasil. Drupadi yang kucari hingga hari beranjak petang, tak jua kutemukan.
Aku mulai putus asa.
Di atas sebuah bangku panjang yang berada di tepi trotoar aku duduk melepas lelah.
Seorang bapak tua, penjaja koran sore menawarkan dagangannya padaku seraya menunjukkan berita yang tengah menjadi  trending topik.Â
"Berita terbaru, Mas. Lagi seru."
Membaca selintas berita yang tertulis pada halaman depan koran yang dipegang oleh bapak tua itu, seketika mataku nanar.Â
Ada foto Drupadi terpampang di sana.
Usai menyerahkan selembar uang lima ribuan ke arah bapak tua itu, aku bergegas menuju setasiun. Memesan tiket untuk pulang.
Di dalam kereta aku menghabiskan waktu dengan membaca koran hingga tanpa terasa tertidur.
Malam sudah pekat ketika kakiku melangkah memasuki halaman. Ibu menyambutku. Raut wajahnya masih seperti siang tadi, belum berubah.Â
"Sudah kau temukan gadis itu?" Ibu bertanya seraya mengikutiku masuk ke dalam rumah. Â
"Siapa?"aku mengernyit alis.Â
"Melani Tan. Gadis keturunan Tionghoa itu," Ibu menegaskan.
"Oh, aku baru saja mengusirnya dari pikiran dan hatiku."
Ibu tertegun. Tapi kemudian ia mahfum saat melihat gulungan koran yang kulempar ke atas meja.
Ibu meraih gulungan koran itu lalu membaca lantang berita utama yang ditulis dengan huruf kapital berukuran mencolok.
"Seorang anggota dewan terciduk ketika tidur di kamar hotel berbintang bersama wanita cantik berinisial MT."
Blam!
Aku sengaja membanting pintu kamarku keras-keras. Agar telingaku tidak mendengar suara Ibu.
***
Malang, , 20 Januari 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H