Aku meraba perutku yang membola. Ada gerakan halus, semirip telusur cacing, menggeliat-geliat geli.
Oh, syukurlah. Dia sehat.
Aku merabanya sekali lagi.
Aku bahagia. Aku hamil. Mengandung anak Rusli---laki-laki pilihan hatiku.Â
Rusli seorang penulis lepas. Meski hidup kami jauh dari kata berkecukupan, aku tetap merasa bersyukur. Bagiku bisa hidup berdampingan dengan orang yang kucintai adalah karunia tak terperi. Â
"Maafkan aku, Ir. Aku belum bisa membahagiakanmu," berulangkali Rusli mengatakan itu. Sampai bosan aku mendengarnya.Â
Biasanya kalau sudah begitu, aku akan meninggalkannya sendiri di dalam kamar. Kubiarkan ia menghibur dirinya. Menggoreskan kalimat-kalimat sesuai dengan kehendaknya. Bukankah dengan menulis ia bisa menjadi siapa saja? Kalau mau, ia bisa menjadi Raja atau Kaisar yang paling kaya raya di dunia.
Seperti sore itu. Aku melihatnya asyik berkutat dengan naskah-naskahnya ditemani seiris singkong rebus dan secangkir kopi bening tanpa gula. Aku sama sekali tidak berani mengganggunya.
"Tanggungan menulis hari ini harus rampung. Ir. Supaya honornya cepat cair. Dan aku bisa membelikanmu sebuah daster. Kulihat kemejamu itu sudah tidak muat lagi."
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Aku tahu, Rusli adalah  type  suami yang bertanggung jawab. Hanya saja nasib baik memang belum berpihak kepada kami.
"Kau lanjutkan saja menulismu. Aku harus mengantarkan cucian kering ini ke rumah Nyai Lurah. Oh, iya. Mungkin dari sana aku akan langsung mampir ke rumah kerabat di desa seberang," ujarku seraya menyentuh punggung tegap suamiku yang duduk membelakangiku.