Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ojung, Ketika Tiba Giliranku

4 Januari 2018   17:36 Diperbarui: 4 Januari 2018   20:44 1366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber :29 best Carpathy Facebook Image/www.pinterest.com

Pada ritual Ojung tahun lalu, kakakku Suleman mendapat giliran berlaga. Ia melawan Datuki, anak juragan tanah yang terkenal di desa kami. Saat itu kakakku kalah telak. Seluruh tubuhnya dipenuhi bilur-bilur disertai kucuran darah akibat sabetan rotan Datuki. Ibu sempat menangis ketika mengompres luka-lukanya.

"Tahun depan giliranmu, Rahmat. Kau harus menang!" Ayah berseru padaku. Ia tampak paling terpukul menyaksikan kekalahan kakakku.

"Sudahlah, Pak. Jangan paksa anak-anakmu mengikuti ritual mengerikan itu. Lihatlah ini. Tubuh Suleman dipenuhi oleh luka-luka yang mengerikan," Ibu berusaha membujuk hati Ayah.

"Kau harus mempersiapkan diri baik-baik, Rahmat. Bapak berharap tahun depan adalah tahun keberuntunganmu," Ayah seolah tidak menggubris kata-kata Ibu. Ia tetap bergeming pada ambisinya. 

***

Hitungan kalender sudah memasuki bulan  Rebbe. Sebentar lagi ritual Ojung akan digelar. Seperti permintaan Ayah, kali ini aku yang harus maju ke arena laga. Ayah sudah mendaftarkanku ke sesepuh adat setempat. Dan aku sengaja dipasangkan dengan Padil, anak juragan tanah yang sudah lama menjadi musuh bebuyutan Ayah.

"Tidak adakah lawan yang seimbang untukku? Padil terlalu kecil buatku. Aku tidak tega jika harus melecutkan rotan ke arah tubuhnya," aku memprotes paduan lawan yang sangat tidak seimbang, sebelum ritual Ojung dilaksanakan. 

"Ini permintaan Ayahmu, Mat. Dan juga sudah disepakati oleh juragan tanah itu. Lagi pula jangan menyepelekan Padil. Meski masih muda ia sudah dilatih cukup matang untuk menghadapimu," sesepuh yang mengurusi upacara Ojung menjelaskan padaku.

Aku terpaksa menerima keputusan itu. Meski tidak sepenuh hati.

Tetabuhan mulai dibunyikan sebagai pertanda upacara Ojung akan segera dimulai. Ayah sudah mengolesi seluruh tubuhku dengan minyak kelapa, membuat  otot-otot kekarku tampak menonjol dan mengkilap.

Sementara di sebelah sana, Padil juga tengah dirubung oleh beberapa orang. Bahkan ia mendapat semburan air garam beberapa kali dari mulut Ayahnya, sang juragan tanah.

"Fokuskan sabetanmu pada titik-titik yang mematikan, Mat," Ayah membisikiku.

"Tidak Ayah. Ritual Ojung ada aturannya. Kami hanya boleh menyerang lengan, punggung, dada, perut dan kaki. Selain area itu tidak diperkenankan," aku mengingatkan Ayah.

"Kau lupa, Mat? Bagaimana tahun lalu anak juragan keparat itu melukai tubuh kakakmu? Ia mengabaikan aturan-aturan yang berlaku. Ia seenaknya saja menyabetkan rotan pada wajah Suleman," Ayah berkata getir.

Ya, aku ingat. Hingga kini bekas sabetan itu masih ada. Wajah kakakku menjadi cacat. Itu yang semakin memupuk dendam kesumat Ayah.

"Kau seranglah sesuai perintahku, Mat," kembali Ayah berbisik. Aku hanya diam.

Tetabuhan kian mendayu-dayu. Ayah sudah mendorong tubuhku ke tengah arena. Padil juga sudah siap berhadapan denganku.

Orang-orang di tepi lapangan mulai bersorak sorai. Memberi semangat kepada kami---para jagoan yang diandalkan.

Claaaak!

Satu sabetan nyaris mengenai wajahku. Untung aku berhasil memiringkan kepala sedikit ke kiri pada saat yang tepat. Sabetan maut Padil tidak sedikit pun menyentuh kulitku.

Claaak!

Kali ini aku membidik kaki mungil bocah lucu itu. Meleset. Kudengar Ayah berteriak-teriak memarahiku. Tapi aku tidak peduli. Aku tetap tidak ingin melukai Padil yang usianya terpaut jauh dariku.

Ritual Ojung kian memanas. Kami---aku dan Padil menari-nari berkeliling arena setiap kali hendak melakukan sabetan. Orang-orang kian bersorak-sorak kegirangan.

Hingga waktu yang ditentukan hampir habis, tak satu pun dari kami yang terluka. Aku mendengar Ayah Padil bersumpah serapah. Memarahi bocah kecil yang sepertinya sama sepertiku. Sengaja tidak ingin melukai.

Para penonton mulai ikut kecewa. Ritual Ojung kali ini dianggap gagal. Tidak setetes darah pun mengucur dari tubuh kami. Itu menandakan musim kering akan terus berkepanjangan. Hujan tidak bakal turun.

Tapi mendadak kekecewaan semua orang sirna. Berubah menjadi gegap gempita dan suka cita. Orang-orang di tepi lapangan ikut menari-nari.

Ada apa? Tak disangka-sangka hujan deras tiba-tiba mengguyur. Membasahi tanah gersang di perkampungan kami.

Ayah Padil pun tidak ketinggalan. Ikut bergembira. Lelaki tua itu segera melepas kemejanya. Membiarkan tubuhnya yang tambun basah kuyup oleh guyuran hujan. 

Ayahku pun demikian. Udheng  yang semula diikatkan di kepalanya kini dililitkan pada pinggangnya yang tak lagi ramping.

Dua lelaki tua itu menari-nari beriringan mengikuti irama yang kian rampak, berhujan-hujan ria melupakan permusuhan mereka yang menahun.

Aku dan Padil menepi. Saling berpandangan.

"Mana kakakmu yang cantik itu, Dil?" bisikku di telinga bocah kelas 5 SD itu.

"Mbak Sri? Tadi ketika aku berangkat ke sini ia tengah mengenakan mukenanya," Padil menjawab seraya tersenyum. Aku mengangguk. Buru-buru kutinggalkan arena Ojung---pulang menuju rumah untuk membersihkan tubuhku yang berlumuran minyak kelapa.

Usai meraih sarung dan kopiah yang tersampir di belakang pintu, dengan membawa dua buah payung aku berdiri di tangga Mushola. Menunggu Sri.

"Sri, terima kasih untuk sholat Istisqa-nya, ya!"

Sri yang tengah mencari-cari pasangan sandal jepitnya, tersipu malu.

***

Malang, 04 Januari 2018

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun