"Aku juga Bram...." balas perempuan itu, hanya dalam hati. Ia tidak ingin Bram mendengarnya.Â
Dan kesunyian pun kembali menguasai.Â
Mungkin lebih baik begitu. Saat kata-kata tak mampu lagi mewakili perasaan, diam adalah pilihan terbaik.
Kapal ferry telah benar-benar merapat di anjungan. Ra bergegas turun. Kaki mungilnya melompat ringan melewati papan kayu pembatas yang dipasang di antara ujung kapal dan jalanan.
Perempuan bernama Ra itu, ia tak ingin menoleh lagi ke belakang. Meski hatinya perih dan air matanya berlomba jatuh. Ia tetap bertekad. Semua kisahnya bersama Bram harus segera diakhiri.
Dan ia benar-benar melakukannya.
Ra tersenyum ketika sebuah truk melaju kencang ke arahnya. Ia membiarkan kendaraan raksasa itu melindas tubuh mungilnya---tanpa ampun.
Beberapa detik kemudian jasadnya tersentak. Bayangan putih samar keluar dari tubuh mungil dan terbang melayang bagai walet menuju buritan kapal. Bayanganitu mendekati sosok Bram yang masih berdiri termangu.Â
Ra, dalam bentuk lain bisa melihat dengan jelas. Bram---laki-laki yang dicintainya itu baru saja menyeka air mata dengan ujung jemarinya.
***
Malang, 28 Desember 2017
Lilik Fatimah Azzahra