Angin bertiup sepoi-sepoi. Kapal ferry bernama Joko Tole itu meluncur tenang di atas permukaan air laut tanpa gelombang.
Selat Madura memang selalu bersahabat. Itulah sebabnya jalur lintas yang hanya memakan waktu setengah jam dari anjungan Tanjung Perak itu masih tetap dipergunakan meski telah dibangun Jembatan Suramadu sebagai lintas penyeberangan alternatif.
Dua sosok berdiri atas di buritan kapal. Berjejer. Kedua tangan saling bertaut dengan mata memandang laut lepas. Sosok prianya tinggi besar, mengenakan T-shirt biru tua. Sedang sang perempuan, bertubuh mungil, memakai  sweater berwarna merah marun.
Mereka tidak saling bicara. Hanya sesekali jemari keduanya bergerak pelan. Saling meremas.Â
Sementara langit mulai berubah warna. Dari biru menjadi jingga sangit. Sekawanan burung walet terbang melayang seolah hendak berselancar di atas  permukaan air laut yang bening. Salah satu kawananan burung walet itu ada yang terbang terlampau rendah hingga kakinya benar-benar menyentuh air, dan terpeleset jatuh.
"Burung itu sepertiku, Bram.Tak jelas nasibnya. Mungkin ia sudah tenggelam di dasar laut dan menjadi santapan ikan-ikan," sang perempuan akhirnya bersuara. Sang pria hanya menghela napas.
"Kau yakin bisa melupakanku, Bram?" lanjut si perempuan, melepas genggamannya perlahan dari tangan si pria. Ia berkata tanpa menoleh.
"Jangan menanyakan hal-hal yang tidak sanggup aku jawab, Ra," si pria menelan ludah. Si perempuan tertawa. Tawa lirih yang pahit.
"Bram, jurang itu tidak mungkin bisa kita lalui," si perempuan mendesah panjang seraya menggeser tubuhnya sedikit. Serasa ada beban berat yang menghimpit dadanya.
"Sebenarnya bisa, Ra. Kalau saja kau tidak ragu-ragu untuk...."
"Untuk menyakiti hati istrimu?"