Kalian kira enak? Kalian kira aku menikmatinya? Tentu saja tidak. Menjadi perebut suami orang bukanlah cita-citaku.
Lantas mengapa aku sampai melakukannya, mau begitu saja menjadi istri simpanan Dimas yang sudah beristri?Â
Entahlah. Semua terjadi begitu saja.
Kalian pasti menyalahkan aku. Ya, pasti.
Tapi terserah. Aku tidak ambil peduli. Aku sudah lelah. Ketika takdir menyeretku sedemikan jauh, membawaku sampai pada pelukan laki-laki bernama Dimas itu, oh, aku jadi berpikir konyol, mengapa aku tidak meneruskan saja pekerjaanku sebelum ini---menjadi perempuan panggilan? Toh perempuan panggilan jauh lebih terhormat daripada perempuan simpanan. Setidaknya begitu di mata orang-orang yang anti perempuan lain. Perempuan panggilan hanya dibutuhkan sewaktu-waktu, selebihnya ia bebas. Sedang istri simpanan? Meski kedudukannya nyaris sejajar dengan istri sah, tapi keberadaannya tak layak dimunculkan. Dan itu---sungguh sangat menyakitkan.
Dua tahun aku menjadi istri simpanan Dimas. Sejak itu hidupku bagai terbelenggu, terpasung. Aku tidak diperkenankan keluar rumah selain atas izin suamiku. Aku tidak boleh sembarang menerima telpon, bahkan dari keluargaku sendiri. Aku harus selalu bungkam. Tutup mulut. Ketika orang-orang sekitar rumah kontrakan menanyakan identitas suamiku, aku harus menyamarkannya. Atau aku wajib bilang suamiku sedang berlayar keliling dunia.
Kalian lihat bukan? Hidupku dipenuhi kebohongan dan kemunafikan!
Pernah suatu waktu aku ingin berbuat kebajikan, mengembalikan Dimas kepada istri tuanya, seperti tayangan sinetron-sinetron di televisi itu---istri tua akhirnya berkumpul kembali dengan suami tercintanya.Â
Ya, aku sangat ingin melakukannya.
Tapi keinginan itu termentahkan ketika suatu pagi datang serombongan perempuan berumur melabrakku. Sepertinya mereka para pembela istri tua Dimas, geng ibu-ibu anti perselingkuhan.Â
Salah satu dari mereka---yang bertubuh paling tambun, tanpa ragu menjambak rambutku dan menyumpal mulutku dengan segenggam cabe rawit.
Ya, segenggam cabe rawit. Bisa kalian bayangkan bukan?
Aku tersungkur ke lantai. Muntah-muntah. Mulutku panas dan kepedasan. Mataku pedih.
Kiranya belum puas mereka mengeroyokku. Tubuhku yang masih tersungkur menjadi sasaran empuk. Sepatu-sepatu ber-high heel menghujaniku. Salah satu sepatu, entah milik siapa sempat mengenai batok kepalaku.
Tidak. Aku tidak terima perlakuan keji seperti ini. Aku harus melawan, aku tidak boleh hanya diam.Â
"Hentikan! Dasar penulis bodoh! Tulis saja kisah seperti biasanya. Tulis kisah perempuan perebut suami orang yang serakah---yang penuh ambisi dan selalu ingin menguasai. Jangan menulis kisah perempuan lemah tak berdaya seperti ini!" aku berteriak-teriak histeris.
Tapi percuma. Penulis fiksi itu sama sekali tidak mendengarku.
***
Malang, 24 Nopember 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H