Mungkin saya pemegang rekor terlama sebagai pasien dokter J. Kohar. Sudah lebih dari 28 tahun. Seumuran dengan putri sulung saya. Mengapa saya betah menjadi pasien beliau? Inilah catatan kecil tentang "persahabatan" kami.
Saya mengenal beliau dari suami. Ketika itu pasca melahirkan anak pertama, saya mengalami blooding dan harus menjalani penanganan dokter. Suami mengantar saya ke sebuah rumah praktik dokter yang letaknya jauh di tengah kota. Dari situlah saya mengenal sosok dokter Kohar yang meski sudah berumur tetap terlihat awet muda dan energik.
Pertemuan antara keluarga saya dan dokter keturunan China ini terus berlanjut. Setiap ada anak atau anggota keluarga yang sakit, kami (saya dan suami) selalu membawa berobat kepadanya. Tanpa sadar kami sudah mengangkatnya sebagai dokter keluarga. Bahkan saya tidak segan merekomendasikannya kepada teman-teman atau tetangga yang membutuhkan saat mereka sakit.
Mengapa saya memilih setia berobat kepada dokter J. Kohar? Salah satu alasannya adalah dokter J. Kohar memperlakukan kami sedemikian friendly. Beliau sangat perhatian, teliti, tidak segan memberitahu, mengingatkan dan bahkan mengomel jika saya abai terhadap kesehatan. Berkonsultasi dengan beliau seakan berbincang dengan ayah sendiri.
Menjadi tempat curhat pertama saya
Boleh dikata dokter Kohar adalah tempat curhat saya yang pertama dan paling aman. Saya tidak segan mengemukakan segala problematik hidup saya. Tentang kegagalan rumah tangga saya, tentang perkembangan mental anak-anak saya, juga tentang hal-hal pribadi yang menjadi rahasia saya.
Ada kisah yang tidak pernah saya lupakan. Ketika suatu hari, tujuh belas tahun silam, saya mengunjunginya dan mengeluh tentang kehamilan anak keempat. Saya sempat menangis, ingin menggugurkan kandungan tersebab ada suatu hal. Dokter mendengar keluhan saya dengan sabar. Sembari memegang telapak tangan saya beliau berkata, "Aku akan memberimu obat".
Mendengar itu saya merasa tenang. Saya minum obat yang beliau berikan. Berharap saya tidak jadi hamil. Tapi belakangan saya ketahui, bahwa obat yang beliau berikan adalah vitamin untuk kesehatan janin dan penguat rahim saya. Saya bersyukur, dokter sudah menghindarkan saya dari dosa dan juga menyelamatkan bayi saya dengan caranya sendiri.
Kisah lainnya adalah ketika saya mengalami musibah yang nyaris membuat saya kehilangan nyawa. Saya tersengat aliran listrik bertegangan tinggi. Usai terselamatkan saya menemui dokter di tempat prakteknya dalam keadaan kacau. Dokter J. Kohar tampak sangat terkejut. Diperiksanya telapak tangan saya seraya berucap, "Tuhan sangat sayang padamu. Banyak kejadian orang tidak terselamatkan ketika tersengat listrik, apalagi yang bertegangan tinggi. Itu menunjukkan bahwa Tuhan masih mempercayaimu untuk mengasuh dan merawat anak-anakmu."
Juga---ketika suatu hari saya datang bersama luka-luka di sekujur tubuh saya, dokter Kohar dengan sabar dan telaten mengobati saya. Tentu saja beliau tahu saya berbohong saat mengatakan saya terjatuh dari motor. Beliau tidak memarahi saya, hanya mengatakan, "Ini bukan luka akibat terjatuh." Matanya yang sipit menatap saya, meminta saya untuk berkata jujur.
Petuah untuk Si Kecil
Bungsu saya memiliki tubuh yang sangat rentan. Sejak kecil ia selalu sakit-sakitan. Mudah terinfeksi bakteri dan gampang terserang penyakit terutama di setiap pergantian musim. Hal ini membuat dia sering absen tidak masuk sekolah. Dalam sebulan bisa dihitung dengan jari berapa kali ia mengikuti pelajaran.
Apa tanggapan dokter Kohar terhadap kondisi si bungsu yang demikian?
"Sekolah tidak harus berlama-lama. Cukup seminggu tiga kali. Yang penting anakmu menyerap ilmunya dengan baik. Kualitas lebih utama."
Saya tercenung mendengar kata-katanya.
"Bungsu saya anak yang cerdas Dokter. Meski jarang masuk sekolah, dia tetap ranking satu."
"Kecerdasan seorang anak menurun dari ibunya. Kalau ibunya pintar, anaknya pasti pintar. Ini berdasarkan penelitian." Panjang lebar dokter mengemukakan pendapatnya. Saya diam mendengarkan.
Dan beliau selalu kelihatan senang setiap kali saya bercerita tentang perkembangan si bungsu.
"Dia sekarang sudah menjadi gadis yang sehat dan jenius dokter. Dua kali masuk akselerasi. Benar kata dokter, dia sekolahnya cuma sebentar. Kini dia sudah kuliah semester empat sementara teman-teman sepantarannya belum lulus SMU."
Mendengar kata-kata saya dokter Kohar tersenyum riang.
Tak segan berbagi ilmu
Jika lama tidak berkunjung, dokter Kohar biasanya akan menelpon saya. Menanyakan kesehatan saya, kabar anak-anak saya dan tak jarang beliau minta saya datang ke tempat praktiknya---bukan sebagai pasien, melainkan sebagai seorang sahabat.
"Kamu datanglah ke sini. Kamu harus membaca buku ini," ujarnya melalui telepon.
Saya tidak kuasa menolak undangan beliau. Di sela-sela waktu luang, saya menyempatkan diri mendatangi tempat praktiknya yang baru. Sebuah apotek ternama di Kota Malang. Meski kedudukan saya sebagai sahabat, saya tetap berperilaku seperti pasien kebanyakan. Saya duduk di ruang tunggu, mengantre giliran dipanggil ke dalam ruangan. Biasanya saya mengalah, memilih menghadap dokter paling akhir. Tahu kenapa? Karena dokter Kohar pasti akan mengajak saya berbincang-bincang lebih dari dua jam...
Pernah seorang asisten---masih baru, yang belum mengenal saya, memperlakukan saya agak kasar karena kartu berobat saya ketinggalan di rumah. Tapi saya hapal nomor buku kunjungan saya. Meski begitu asisten itu membentak-bentak saya. Dan dokter Kohar mendengarnya. Ketika kami masuk ke dalam ruangan, dokter langsung balik memarahi asistennya itu.
"Kamu tahu siapa ini? Dia sahabat saya lebih dari 28 tahun."
Sontak sang asisten menunduk malu dan minta maaf kepada saya.
Hal lucu setiap bertemu dengan beliau adalah, saya selalu menegur duluan. "Apa kabar, Dokter? Bagaimana kesehatan Anda hari ini?"
Dokter Kohar menyahut sembari tertawa. "Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu."
Setelah bertukar kabar, beliau tak lupa menanyakan kesehatan saya. Tentang kista pada dada sebelah kiri saya yang sudah bercokol lebih dari dua tahun. Sembari bertanya ini-itu, dokter Kohar segera meraih buku super tebal dari bawah meja kerjanya. Beliau membuka halaman demi halaman sejenak. Lalu menyodorkannya ke hadapan saya.
"Kista ada yang berbahaya dan ada pula yang tidak. Coba kamu baca dan pelajari catatan di buku ini. Kamu bisa mengetahui apakah benjolanmu itu perlu diangkat atau tidak."
Saya segera melakukan perintahnya. Saya membaca buku tebal itu dengan seksama. Saya tidak segan bertanya hal-hal yang tidak saya mengerti, khususnya istilah kedokteran kepada beliau. Dan beliau dengan senang hati menjelaskannya kepada saya, seperti seorang guru terhadap muridnya.
Usai berbincang masalah penyakit secara serius, kami melanjutkan dengan bincang santai tentang kehidupan sehari-hari. Saya suka menggoda beliau agar menceritakan kisah cintanya bersama Nyonya, juga perjuangannya saat memilih profesi sebagai seorang dokter.
"Suatu hari saya ingin menulis biografi Anda, Dokter," ujar saya serius.
"Tulislah. Kalau mau tahu kisah cintaku bersama Nyonya, kamu bisa ngobrol langsung sama dia," tangannya menunjuk ke arah istrinya yang cantik, yang duduk tersenyum-senyum melihat keakraban kami. "Kalau mau menulis tentang perjalanan karierku, kamu harus sering-sering datang mengunjungiku."
Begitulah. Persahabatan antara saya dan dokter Kohar tidak terhalang sekat. Tidak tersandung ras maupun agama. Kami memang berbeda status---tapi kami mampu menjaga pesahabatan dan menikmati indahnya hingga detik ini.
Sehat selalu nggih, Dokter....
***
Malang, 24 Nopember 2017
Lilik Fatimah Azzahra
#Special to dokter J. Kohar, terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik saya....^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H