"Bukan. Oleh suami Umi terdahulu sebelum Abah Iskandar."
"Lantas Umi memilih berpisah?"
Umi Halimah mengangguk. "Aku sama keras kepalanya sepertimu."
Aisyah menelan ludah. Ia tidak tahu harus berkata apa kecuali membiarkan Umi Halimah melanjutkan ceritanya.
"Ada perang batin berkecamuk saat menghadapi masalah berat seperti itu, Ais. Aku nyaris putus asa. Jalan satu-satunya, yang paling final adalah  wadul  kepada Allah. Menyerahkan sepenuhnya---yang terbaik kepadaNya. Dan alhamdulillah, jika kita pasrah dan ikhlas, pasti Allah akan menjawab setiap doa-doa kita."
"Jujur saya dalam kebingungan amat sangat, Umi. Saya tidak ingin melukai hati anak-anak."
"Itulah yang ingin Umi sampaikan padamu, Ais. Bicarakan masalah kalian baik-baik. Andai keputusanmu berpisah dari Marwoto sudah bulat, tetaplah kalian memikirkan dan memperhatikan anak-anak."
Aisyah mengangguk. Umi Halimah menyentuh pundaknya sekali lagi.
"Sekarang temui Marwoto."
Aisyah berdiri. Bocah kecil dalam pangkuannya diambil alih oleh Umi Halimah. Mereka berjalan beriringan menuju rumah induk panti asuhan yang terletak di bangunan paling depan.
Dilihatnya Marwoto sudah duduk menunggu ditemani Haji iskandar.