Senja baru saja bergulir. Beberapa bocah melafazkan ayat-ayat suci Al Quran di sebuah surau kecil, jauh di pinggiran kota. Sembari memangku si bungsu Aisyah ikut mendengarkan dan menyimak lantunan indah yang menyentuh kalbu itu, yang keluar dari bibir-bibir mungil mahluk kesayangan Allah. Hatinya serasa diguyur embun, lebih tentram kini.
Haji Iskandar benar. Saat dilanda gundah, tempat terindah untuk menyepi dan introspeksi diri adalah panti asuhan. Berbaur bersama mereka---para penghuninya, mampu mengembalikan rasa syukur yang nyaris raib entah ke mana.
"Ais, ada tamu yang ingin bertemu denganmu," Umi Halimah, istri Haji Iskandar menghampiri dan menyentuh pundaknya.
"Siapa, ya. Umi?"
"Temui saja dulu, nanti Ais juga tahu."
"Kalau Marwoto, saya lebih baik tetap berada di sini."
"Jangan begitu Ais. Kalian bisa membicarakan masalah secara baik-baik bukan?"
Aisyah terdiam. Hatinya kembali terusik. Ingin sekali mengatakan kepada Umi Halimah bahwa ia dan Marwoto kini berdiri berseberangan. Di antara mereka menganga jurang teramat dalam yang telah mereka ciptakan sendiri.
"Ais, boleh Umi bercerita sedikit mengenai diri Umi?" Umi Halimah duduk menjejeri Aisyah. Aisyah masih bungkam. Tapi kepalanya mengangguk kecil.
"Kau pasti tidak menyangka bahwa dulu, beberapa tahun silam aku juga pernah mengalami hal yang sama sepertimu," Umi Halimah berkata pelan. Â Seolah khawatir terdengar oleh bocah-bocah kecil yang masih asyik mengaji. "Umi pernah dipoligami."
"Oleh Abah Iskandar?" mata Aisyah seketika terbelalak.