Marwoto sungguh enggan pulang ke rumah. Apalagi mesti bertemu Aisyah. Ia sudah kehilangan rasa terhadap perempuan yang dinikahinya lebih dari sepuluh tahun itu.
Entah apa yang menyebabkan ia seperti itu. Semenjak bertemu Yulia? Mungkin. Bisa jadi janda dengan satu anak bertubuh mungil itu memang telah berhasil menguras habis energi dalam kepalanya. Pikirannya selalu tertuju pada perempuan itu. Dan anehnya, begitu melihat Aisyah, ia merasa istrinya itu teramat menjemukan. Meski menurut pendapat sebagian orang, Aisyah adalah perempuan yang manis dan lembut.
"Mar, kalau mau makan sate, tidak usah bawa-bawa kambingnya sekalian," sindir Haji Iskandar, teman seperjuangan, sama-sama perantau yang sudah menganggap Marwoto seperti anaknya sendiri.
"Apakah Aisyah wadul  sesuatu kepada Abah?" Marwoto menatap curiga pada lelaki sepuh berpeci putih itu. Haji Iskandar menggeleng.
"Istrimu itu sangat pendiam. Ia tidak pernah bilang apa-apa padaku. Tapi aku tahu kehidupan rumah tangga kalian sedang bermasalah."
Marwoto tersenyum kecut. Ia tahu kemana arah pembicaraan Haji Iskandar.
"Abah, bolehkan saya menyarankan sesuatu? Sebaiknya Abah tidak usah terlalu dalam mencampuri urusan kami."
"Aku sekadar mengingatkan, Mar. Dalam Islam diperbolehkan laki-laki menikahi lebih dari satu perempuan. Lalu kenapa kamu tidak berterus terang saja, meminta baik-baik  pada istrimu itu untuk mengizinkanmu berpoligami?" Haji Iskandar berdehem. Wajah Marwoto seketika memerah.
"Asal Abah tahu...saya sudah minta izin pada Aisyah. Tapi ia menentang."
"Maksudmu?"
"Ia memilih bercerai dari saya ketimbang dipoligami."
"Kau kurang pandai membujuknya, Mar!" Haji Iskandar tertawa.
"Itu yang tidak bisa saya lakukan, Abah."
Haji Iskandar menghela napas panjang. Meski ia tidak menentang poligami, tapi laki-laki sepuh itu--- seujung kuku pun tidak berhasrat melakukannya.
***
Yulia mengoles pemulas warna merah bata di seputar pipinya yang mulus. Ia baru saja mandi. Tubuh mungilnya hanya berbalut handuk. Sementara Marwoto duduk di tepi ranjang mengawasinya. Laki-laki itu masih mengenakan sarung.
"Mas sudah mendapatkan surat itu?" Yulia tersenyum manja. Marwoto berdiri, lalu duduk merapat di samping perempuan muda itu.
"Sudah, surat itu aku simpan di dalam mobil," ia mengecup lembut rambut Yulia yang wangi. "Tapi aku masih belum berani mengajukannya ke pimpinan di kantor."
"Kenapa belum berani? Kedua orang tuaku sudah sering menanyakannya, loh, Mas. Kapan Mas Marwoto menikahiku secara resmi?"
"Sabarlah sayang...kendala yang kuhadapi masih banyak. Salah satunya---Aisyah."
"Ceraikan saja dia!"
"Itu yang tidak bisa aku lakukan. Ia adalah Ibunya anak-anak. Memang kamu mau merawat keempat anakku kalau semisal Aisyah tidak mau membawa mereka? Kalau aku jelas tidak mampu."
Yulia terdiam.
"Lagi pula, seluruh keluargaku yang tinggal di luar pulau, sangat menyayangi Aisyah. Mereka marah besar ketika tahu aku berniat menikah lagi."
"Lalu sampai kapan aku harus menunggu, Mas?"
"Sampai Aiyah ikhlas dan rela dimadu."
Yulia mendengus. Ia nyaris mengatakan sesuatu. Tapi urung. Karena tiba-tiba saja Marwoto sudah menghujaninya dengan bertubi ciuman.
Bersambung....
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H