"Kau kurang pandai membujuknya, Mar!" Haji Iskandar tertawa.
"Itu yang tidak bisa saya lakukan, Abah."
Haji Iskandar menghela napas panjang. Meski ia tidak menentang poligami, tapi laki-laki sepuh itu--- seujung kuku pun tidak berhasrat melakukannya.
***
Yulia mengoles pemulas warna merah bata di seputar pipinya yang mulus. Ia baru saja mandi. Tubuh mungilnya hanya berbalut handuk. Sementara Marwoto duduk di tepi ranjang mengawasinya. Laki-laki itu masih mengenakan sarung.
"Mas sudah mendapatkan surat itu?" Yulia tersenyum manja. Marwoto berdiri, lalu duduk merapat di samping perempuan muda itu.
"Sudah, surat itu aku simpan di dalam mobil," ia mengecup lembut rambut Yulia yang wangi. "Tapi aku masih belum berani mengajukannya ke pimpinan di kantor."
"Kenapa belum berani? Kedua orang tuaku sudah sering menanyakannya, loh, Mas. Kapan Mas Marwoto menikahiku secara resmi?"
"Sabarlah sayang...kendala yang kuhadapi masih banyak. Salah satunya---Aisyah."
"Ceraikan saja dia!"
"Itu yang tidak bisa aku lakukan. Ia adalah Ibunya anak-anak. Memang kamu mau merawat keempat anakku kalau semisal Aisyah tidak mau membawa mereka? Kalau aku jelas tidak mampu."