Ibu hanya bungkam.
***
Meski pertanyaanku tidak memperoleh  jawaban, aku tidak merasa kecewa. Aku tahu Ibu sedang banyak pikiran. Â
Seorang perempuan, lebih muda dari Ibu, datang mendekat. Perempuan itu tidak asing lagi bagiku karena hampir setiap hari aku melihatnya. Hanya saja sampai detik ini aku tidak bisa mengingat-ingat siapa namanya. Meski berkali Ibu memberitahuku.
"Dede sudah memakai seragamnya, ya..." perempuan muda itu tersenyum ke arah Ibu. Kulihat Ibu mengangguk.
"Saya harus menggunakan berbagai cara agar ia mau memakainya, Suster," Ibu menyahut pelan. Tapi meski begitu aku bisa mendengarnya dengan jelas.
"Syukurlah. Itu terlihat jauh lebih baik, ia tidak bugil lagi."
Bugil? Perempuan itu mengatakan aku bugil? Sungguh aku tidak suka mendengarnya. Aku menggeram. Mataku mendadak nanar. Perempuan itu sudah menghinaku. Aku ingin sekali menampar mulutnya. Tapi tentu saja hal itu tidak berani kulakukan. Di hadapan Ibu aku tidak boleh melakukan perbuatan buruk. Ibu pasti akan sangat sedih dan marah melihatku bertindak sangat tidak sopan---seperti menampar mulut orang dewasa misalnya, meski menurutku orang dewasa itu patut mendapatkannya.
"Ibu," aku memanggil. Â Sengaja mengalihkan perhatian Ibu dari perempuan muda itu.Â
"Lihatlah, Dede sudah bisa menulis tiga huruf seperti yang pernah Ibu ajarkan. I---B---U..." aku mengeja terbata dan menunjuk huruf  berwarna merah pekat yang tertera pada dinding lembab kamarku.
Ibu tersentak.