"Tapi Ju, aku hanya betah tinggal selama dua Minggu. Aku ingin pulang dan rindu bertemu denganmu. Tempat itu sekalipun indah bagiku sangat membosankan. Tidak ada hal-hal menarik yang bisa kulakukan di sana. Lalu aku memaksa Irmina untuk memberitahu jalan mana yang bisa membawaku kembali menuju dunia luar."
"Kau pergi sudah dua puluh tahun, Ish. Bukan dua Minggu..." kali ini aku berani menyanggahnya. "Lihatlah rambut di kepalaku, sudah memutih. Lihat pula wajahku, sudah dipenuhi kerutan. Aku juga sudah berkeluarga. Memiliki satu orang anak yang sudah beranjak remaja," lanjutku memberi penegasan. Ish tertawa.
"Lalu apa yang kau lihat pada penampilanku?" ia sengaja menyipitkan kedua matanya.
Aku membisu. Tidak segera menjawab. Tapi diam-diam aku mengamati Ish. Kulitnya masih kencang. Tubuhnya juga, masih gagah. Potongan rambutnya tidak berubah. Masih model itu-itu juga. Tak ada satu pun uban menghiasi kepalanya.
Ish masih tetap seperti dua puluh tahun lalu.
Seorang dokter masuk didampingi dua orang polisi. Dokter itu sempat melambaikan tangan ke arahku.
"Ia terus mengigau bahwa dirinya dua Minggu terjebak di dunia lain---di perut Gunung Himalaya. Jadi diagnosa sementara kami, pasien ini mengalami semacam gangguan kejiwaan," dokter memberi penjelasan.
"Tapi Dokter, kukira ia berkata jujur. Sebab tidak terjadi perubahan sama sekali terhadap kondisi tubuhnya. Juga pakaian yang dikenakannya ---masih sama seperti dua puluh tahun silam," aku menyela. Tapi aku tahu dokter dan kedua orang polisi itu tidak akan mempercayai ucapanku.
Dan pihak Rumah Sakit tetap memutuskan untuk memindahkan Ish ke ruangan khusus. Ruang inap bagi orang-orang yang kehilangan pikiran waras mereka.
Tepat bersebelahan dengan ruanganku.
***