Ish bersikeras mengulang pendakian ke puncak Himalaya. Terlihat jelas dari sorot matanya saat ia menyampaikan niatnya itu padaku.
"Ini satu-satunya kesempatan baik bagiku untuk mencari Irmina, Ju," ia beralasan. Ya, Irmina. Aku paham Ish masih sulit melupakan kejadian tragis dua tahun lalu. Irmina hilang saat ikut mendaki bersama kami.
"Kau tahu, Ju? Aku selalu dihantui rasa bersalah. Bagaimana bisa tali yang kuikat pada tubuh Irmina itu terlepas?"
"Itu sudah takdir, Ish. Murni bukan kesalahanmu. Ketika itu salju di puncak Himalaya mendadak longsor."
"Feelingku mengatakan, Irmina masih hidup," Ish bersikeras. Aku tidak berani menyela kata-katanya. Aku tahu bagaimana karakter Ish. Ia sangat keras kepala. Percuma saja berdebat dengannya.
Meski begitu aku tetap menghkawatirkan dirinya. Aku tidak akan tega membiarkan ia pergi sendiri. Kuputuskan untuk menemaninya meski ia tidak memintaku.
***
Kuakui, Ish memiliki stamina yang sangat luar biasa. Perjalanan dari Kathmandu-Lukla yang memakan waktu selama tiga jam dengan pesawat kecil yang kami sewa sama sekali tidak membuatnya terlihat lelah. Ia bahkan bersiul-siul dengan riang saat jajaran pegunungan Himalaya yang tertutup butiran salju mulai menampak.
Kami singgah sebentar di Desa Phakding. Dari sini perjalanan berlanjut mengikuti rute yang biasa dilewati oleh para pendaki. Sepanjang perjalanan kami disambut oleh pepohonan rindang---cemara, Rhododendon dan Magnolia. Ish sendiri tidak banyak bicara. Ia sibuk membidikkan kamera mengabadikan keindahan panorama alam sekitar.
Perjalanan menuju puncak Mount Everest memakan waktu berhari-hari. Tapi semangat Ish tak kunjung padam, tetap menyala-nyala.
Meski begitu kami tetap harus rehat sehari dua hari di beberapa tempat untuk melakukan proses aklimatisasi  sebelum melanjutkan perjalanan sampai ke puncak.