Siang itu, Darsih kecil mengintip dari balik pintu. Seorang laki-laki mengenakan pakaian serba hitam, berikat kepala kain merah menyala datang berkunjung. Laki-laki itu bertubuh kurus, memakai kaca mata bening bundar, menjinjing kopor kecil---yang entah isinya apa.
Darsih kecil melihat Ibunya begitu bersemangat saat menyambut tamu yang baru datang itu. Usai mengajaknya berbincang sebentar, Darsih melihat Ibunya masuk ke dalam kamar diikuti oleh lelaki itu.
Dari balik pintu kamar yang dibiarkan terbuka, Darsih kecil menyaksikan Ibunya merebah dengan santai di atas tempat tidur.
Apakah Ibu sakit? Darsih bertanya dalam hati. Kenapa kalau sakit Ibu tidak pernah mengatakannya? Lalu siapakah laki-laki aneh itu? Apakah ia seorang tabib yang sengaja datang untuk mengobati Ibu? Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di dalam benaknya, membuatnya semakin penasaran.
"Di mana? Di sini?" Darsih mendengar Ibunya bercakap-cakap dengan laki-laki kurus itu.
"Agak naikkan sedikit jaritmu. Ya, sudah, cukup," laki-laki itu membuka kopor yang tergeletak di atas meja, mengambil sesuatu dari dalamnya dengan hati-hati.
Darsih kecil berjinjit. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh laki-laki aneh itu terhadap Ibunya.
"Aku memasukkan dua, tepat di bawah lututmu," laki-laki berikat kepala itu menekan betis Ibunya Darsih dengan ujung jari tangannya.
"Tambahkan satu lagi di sini," Ibunya Darsih memejam mata. Laki-laki itu berpindah posisi. Tangannya yang kurus terulur menyentuh tulang pipi perempuan cantik itu.
"Di sini?" laki-laki itu bertanya menegaskan.
Ibunya Darsih mengangguk.